ANALISIS

Evaluasi Sepekan PPKM Darurat: Kritis di Hulu Hingga Hilir

CNN Indonesia
Jumat, 09 Jul 2021 14:49 WIB
Setelah sepekan PPKM Darurat, pemerintah diminta berani mengavaluasi kebijakan yang dinilai masih bolong di mana-mana.
Sejumlah calon penumpang KRL mengantre di Stasiun Citayem, Depok, Jawa Barat, saat penerapan PPKM Darurat, Kamis (8/7/2021). (ANTARA FOTO/ASPRILLA DWI ADHA)

Windhu berpandangan puncak kebocoran di hilir bermula dari kebocoron di hulu. Maka, kata dia, hulu PPKM Darurat juga harus diperbaiki. Ia menilai pemerintah absen dalam beberapa butir peraturan yang dikeluarkan.

Dalam PPKM darurat pemerintah membuat batasan bekerja di kantor (WFO), membuat penyekatan jalan di berbagai daerah, meminta kafe-kafe atau tempat makan mengurangi kapasitas dan jam operasional. Windhu mengatakan, itu saja tidak cukup.

Terkait itu, ia menyarankan pemerintah untuk merevisi kebijakan PPKM darurat. Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan pelarangan mobilitas sejak dari lingkup terkecil, yaitu rumah. Meski pemerintah alergi dengan lockdown, kata dia, setidaknya batas minimum mobilitas dalam setiap keluarga adalah 30 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Harus berani merevisi, artinya mengeluarkan addendum aturan. Jadi addendum aturan yang menambahkan, melarang, disetop mobilisasi," ucap dia.

"Jadi kalau serumah isinya lima orang, yang boleh keluar hanya satu orang dalam satu waktu, enggak boleh ada dua orang. Kalau dua orang 40 persen. Itu contohnya," lanjut Windhu.

Dualitas Kebijakan

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra menilai permasalahan di hulu juga ada pada dualitas kebijakan. Di Jawa-Bali, pemerintah menerapkan PPKM darurat dan di luar wilayah tersebut diberlakukan PPKM mikro.

Hermawan mengatakan, penerapan kebijakan secara spasial ini menyebabkan penyelesaian yang parsial atau tidak menyeluruh. Adanya dualitas kebijakan bisa menimbulkan multitafsir dan ketidakmerataan efektivitas implementasi kebijakan. Oleh sebab itu, ia menilai pemerintah harus meninjau kembali permasalahan beda kebijakan.

"Sangat mungkin terjadi multitafsir di lapangan bagaimana kita melihat bahkan aparatur menegakkan ada yang mengizinkan tentara, ada yang enggak mengizinkan masuk. Karena perbedaan ini, masyarakat juga melihatnya semacam ada ketidakadilan dalam satu kawasan," ucap dia.

Selain itu, Hermawan juga mengatakan pemerintah harus meningkatkan jumlah pemeriksaan spesimen. Pemeriksaan spesimen adalah pemeriksaan yang dilakukan pada sampel yang diambil menggunakan metode tertentu untuk diteliti lebih lanjut.

WHO memberlakukan angka pemeriksaan spesimen yang ideal adalah 1 per 1.000 penduduk per pekan. Dengan total penduduk lebih dari 260 juta jiwa, Indonesia seharusnya melakukan pemeriksaan terhadap 267.700 orang setiap pekan. Namun, per 8 Juli, jumlah spesimen jumlah spesimen Indonesia yang diperiksa 200.381 dalam kurun waktu 24 jam.

Pemeriksaan spesimen ini, kata dia, berkaitan juga dengan kewajiban pemerintah terkait penerapan 3T yaitu testing, tracing, dan treatment. Hermawan mengatakan pemerintah tidak bisa hanya mendorong masyarakat untuk tertib protokol kesehatan saja melainkan juga menegakan kewajibannya.

"Protokol kesehatan yang menjadi 5M [mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas] menjadi sebuah kewajiban. Tapi tetap pemerintah punya kewajiban memastikan kecukupan 3T tadi," kata Hermawan.

Penerapan PPKM darurat tanpa memperhatikan 3T menurut Hermawan hanya akan melandaikan sementara lonjakan kasus tapi tapi tidak memutus mata rantai covid. Jika terus dibiarkan, dia menilai Indonesia akan semakin terperosok pada kubangan pandemi.

"Kalau tidak ya kita lihat nanti hasilnya pada 2-3 minggu ke depan, seperti apa hasilnya," ucap dia.

Terkait itu, Hermawan mengingatkan saat ini bukan saatnya untuk pemerintah mengibarkan bendera putih. Pemerintah, kata dia, punya kewajiban sebagai salah satu kunci dalam penanggulangan pandemi.

"Kalau pemerintah mengibarkan bendera merah putih, terus what's next gitu? Negara itu tidak boleh menyerah. Bahwa pemerintah sebagai instrumen negara punya kejenuhan, kapasitas, punya kelelahan bisa jadi, tapi yang pasti atas nama negara tidak boleh menyerah," pungkasnya.

(yla/pmg)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER