Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Golkar Melki Laka Lena mengatakan syarat izin penggunaan obat Covid-19, termasuk Ivermectin, mestinya "adaptif" yakni pernah digunakan dan ada yang mengklaim efektif.
"Jangan juga menahan atau menggunakan prosedur baku dalam penanganan pandemi. Pandemi ini membutuhkan pengelolaan di berbagai sektor itu harus bersifat adaptif dengan kondisi di lapangan," kata dia, kepada CNNIndonesia.com, Jumat (16/7).
"Itu berlaku juga bagi obat penanganan Covid. Sejauh ada yang sudah pakai dan efektif untuk menangani pandemi ini jangan dihalang-halangi," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengklaim Ivermectin, yang sebenarnya obat cacing parasit, terbukti efektif dalam mencegah dan mengobati pasien Covid-19. Menurutnya, itu dibuktikan oleh sejumlah anggota Komisi IX DPR yang telah menggunakan obat itu.
Melki pun menilai Kementerian Kesehatan (Kemenkes) serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bisa menjadikan temuan tersebut sebagai dasar untuk membiarkan penggunaan Ivermectin sebagai obat terapi Covid-19.
"Obat-obat yang di lapangan sudah terbukti jangan ditahan, tapi dengan resep dokter. Nah resep dokter akan menilai kondisi pasien sebelum memberikan obat tersebut," katanya.
"Tinggal dikasih panduan, misalnya resep dokter, lama-lama nanti yang menahan ini diuber masyarakat, yang mati gara-gara dia," lanjut Melki, yang berasal dari Daerah Pemilihan (Dapil) II NTT itu.
Sebelumnya, Ivermectin menuai polemik usai dipromosikan sebagai obat terapi Covid-19 oleh para pejabat, seperti Menteri BUMN Erick Thohir dan Kepala Staf Presiden Moeldoko, di saat BPOM belum memberi izin penggunaan darurat (EUA)-nya.
Kepala BPOM Penny K Lukito menegaskan hingga saat ini pihaknya belum menerbitkan EUA untuk Ivermectin. Menurutnya, obat terapi Covid-19 yang sudah diberi izin di Indonesia saat ini hanya Remdesivir dan Favipiravir.
Ahli Farmasi dari Institut Teknologi Bandung I Ketut Adnyana menuturkan izin edar obat dari BPOM mesti melalui prosedur ketat yang "100 persen ilmiah". Di antaranya, tahap drug discovery, uji pra klinik, uji klinik. Tujuannya, untuk memastikan dan menegakkan kualitas, keamanan, dan efikasinya.
"Apabila tanpa melalui proses metodelogi yang tepat, maka tidak bisa dijamin kualitas, keamanan dan efikasi dari obat tersebut," kata dia.
Ia pun menilai berbahaya jika ada tekanan kepada BPOM untuk meloloskan obat tertentu.
"Bahayanya kalau BPOM didesak meloloskan suatu obat tanpa melewati proses metodologi good pharmacological practice," tuturnya, "Apabila ini diabaikan, tentu tugas utama Badan POM melindungi rakyat Indonesia akan dilanggar."
Terkait fenomena endorse obat ini, Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai motif ekonomi lebih kuat ketimbang penanganan pandemi.
"Motifnya bukan untuk mengendalikan pandemi atau menolong, motifnya ekonomi. Tapi supaya terlihat aman, ditekanlah BPOM," kata dia, Jumat (16/7).
(mts/arh)