Yahya Staquf menceritakan bahwa proses penyusunan dekrit pada 2001 silam berlangsung singkat. Gus Dur meminta Sekretaris Presiden Abdul Mujib Manan menemuinya di suatu ruangan di Istana Negara. Saat itu, Mujib didikte Gus Dur untuk menuliskan kalimat per kalimat agar menjadi sebuah naskah.
Naskah itu pula yang kemudian menjadi pidato dan dekrit Presiden.
Yahya bercerita awalnya Gus Dur sempat memerintahkan Mujib untuk membacakan naskah dekrit Presiden. Namun, Mujib lebih mengusulkan agar pembacaan dilakukan juru bicara presiden. Alhasil, Gus Dur memerintahkan Yahya untuk menjalankan tugas tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya saya rasanya biasa-biasa saja. Karena saya disuruh baca saja. Ya saya lakukan saja," kata Yahya yang kini dikenal pula sebagai Katib Aam PB Nahdlatul Ulama.
Dekrit itu berisi tiga poin utama yakni pembekuan MPR/DPR dan Partai Golkar, serta mengembalikan kedaulatan kepada rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu setahun. Itulah maklumat kedua yang pernah dikeluarkan presiden di negeri ini. Dekrit pertama dikeluarkan Presiden pertama RI, Sukarno pada 5 Juli 1959 lalu.
Gus Dur awalnya hanya mengusulkan membekukan DPR dan MPR dalam isi dekritnya tersebut. Namun, banyak pihak yang meminta Gus Dur mencantumkan substansi pembekuan Partai Golkar dan mempercepat Pemilu dalam dekrit tersebut. Singkat kata, Gus Dur menyetujui semua usulan tersebut.
Adhie sendiri menuturkan bahwa sejatinya Gus Dur tak terlalu mempersoalkan substansi dalam dekrit presiden. Sebab, ada atau tidaknya dekrit presiden kala itu, Gus Dur sudah yakin akan tetap dilengserkan MPR.
"Orang kan bilang, 'Coba Gus Dur enggak ngeluarin dekrit'. Keluarin atau enggak tetap di-impeach. Karena agendanya [MPR] sudah jelas sejak awal: Melengserkan Gus Dur," ujar Adhie.
Keputusan Gus Dur mengeluarkan dekrit yang dibacakan 23 Juli dini hari, mendapat reaksi cepat dari parlemen. Usai menerima fatwa Mahkamah Agung mengenai dekrit yang tidak absah, Amien Rais cs menggelar Sidang Istimewa MPR pada siang hari, seperti yang sudah diagendakan sebelumnya.
Pun, dukungan yang diharapkan dari militer dan kepolisian tak didapatkan Gus Dur. Aparat yang diminta mencegah pelaksanaan Sidang Istimewa justru tak melakukan apa-apa.
![]() |
Sidang Istimewa MPR memutuskan untuk melengserkan Gus Dur dan memilih Megawati sebagai pengganti. Saat sidang digelar, Adhie bercerita bahwa Gus Dur hanya duduk di ruang kerjanya di Istana seharian, meladeni tamu yang datang.
Adhie mengenang raut tenang wajah Gus Dur kala itu. Tak ada sikap cemas ataupun emosi. Gus Dur bahkan masih bisa melontarkan guyon-guyonnya kepada rekan-rekannya yang hadir di Istana.
"Di Istana itu seperti ada keriaan. Orang datang itu ke Istana hari itu tujuannya 100 persen untuk hibur Gus Dur. Mereka datang bukan memberikan dukungan, mereka datang ke situ hanya menghibur. Tapi apa yang terjadi? Niat mereka menghibur malah mereka yang dihibur Gus Dur," kata Adhie.
Tiga hari setelah Sidang Istimewa Gus Dur meninggalkan Istana Kepresidenan. Pada momen ini pun Gus Dur masih sempat menempuh manuver ajaib.
Dikatakan Mantan staf pribadi Priyo Sambadha, Gus Dur meninggalkan Istana berdasarkan surat perintah yang dikeluarkan Lurah Gambir saat itu.
Adalah Gus Dur sendiri yang meminta Lurah Gambir membuat surat pengosongan Istana. Ia mengutus Priyo menemui sang lurah.
"Saya bilang "Pak lurah izin mohon saya ditugaskan sama pak presiden buat minta surat pindah,". Pak lurahnya heran," Ah masa sih?" Lucu sekali waktu itu. Akhirnya dikasih. Saya ingat wajah pak lurah itu terkejut," kenang Priyo.
Adhie Massardi mengatakan alasan Gus Dur meminta surat dari Lurah Gambir untuk pindah dan mengosongkan Istana karena memegang prinsipnya atas Sidang Istimewa yang tidak sah. Gus Dur, kata Massardi, enggan keluar dari Istana hanya karena hasil Sidang Istimewa.
"Akhirnya mencari jalan lain, caranya dengan minta surat perintah dari Lurah Gambir. Minta untuk keluar dari Istana. Kan, statusnya Gus Dur juga sebagai warga kelurahan. kita harus nurut kepada RT atau Lurah juga," kata Adhi.
(kid/wis)