Bara-bara Perseteruan Politik Gus Dur Berujung Pemakzulan

rzr | CNN Indonesia
Jumat, 23 Jul 2021 13:57 WIB
Perseteruan dengan sejumlah pihak jadi pemicu pemakzulan Gus Dur, seperti pencopotan menteri dari Golkar dan PDIP dan penunjukan Kapolri tanpa persetujuan DPR.
Gus Dur didampingi Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri di Gedung Parlemen tahun 2000 silam.. (AFP/AGUS LOLONG)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemakzulan pada 23 Juli 2001 adalah ujung kiprah politik Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Presiden. Peristiwa tersebut didahului sejumlah perbedaan pendapat antara Gus Dur dengan sejumlah pihak seperti DPR, partai politik, hingga TNI/Polri.

Dalam sebuah kesempatan, Gus Dur berupaya untuk mencari jalan tengah untuk mengatasi perseteruan itu. Lobi-lobi politik diupayakan hingga pada satu titik, Gus Dur mengakui dirinya terjerembap di jalan buntu. 

Pengakuan itu disampaikan Gus Dur pada hari kedua di bulan Juli 2001, di hadapan para menterinya. Gus Dur bicara di atas mimbar. Kesan serius tapi santai yang selama ini melekat pada sosoknya lenyap. Pada beberapa titik suaranya seakan pasrah, pada titik lain intonasi Gus Dur meninggi namun lepas, seolah menantang segala kemungkinan politik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya protes kepada Tuhan. Protesnya, semua orang bilang jangan ada keadaan bahaya, tapi semua jalan menuju kompromi ditutup. Semua memble, dalam hal ini," kata Gus Dur seperti terekam dalam dokumentasi kantor berita AP.

"Lalu maunya apa? Maunya biar masyarakat datang, bakar gedung MPR/DPR apa?" lanjutnya, melempar pertanyaan retorik. 

Gus Dur mengaku setuju dengan sidang istimewa yang diwacanakan para politisi Senayan. Namun, Gus Dur tegas menolak jika dalam sidang itu diselipkan agenda meminta pertanggungjawaban presiden. "Sebab itu dalam sistem kenegaraan kita tidak dikenal," tegasnya.

Ia pun mengingatkan bahwa upaya memakzulkan dirinya lewat sidang istimewa sebagai makar. "Kalau itu terjadi maka negara kita akan pecah belah enggak karu-karuan," ujar dia. 

Peringatan yang diutarakan Gus Dur nyatanya tak mampu menghentikan proses politik di Senayan. Pada Minggu pagi, 22 Juli 2001, sejumlah ketua umum partai politik bertemu di kediaman pribadi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di bilangan Kebagusan, Jakarta Selatan. Mega saat itu juga menjabat sebagai wakil presiden.

Sejumlah laporan media mencatat pertemuan di Kebagusan dihadiri oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais, Ketua DPR Akbar Tanjung, Ketua Umum PPP Hamzah Haz, dan Megawati selaku tuan rumah.

Pertemuan menghasilkan sejumlah keputusan. Salah satunya adalah menyelesaikan masalah kepemimpinan nasional imbas perseteruan presiden dengan DPR. Sementara di kawasan Medan Merdeka sekitar Istana, tensi politik meninggi. Massa yang kontra telah berhadap-hadapan dengan para pendukung Gus Dur. Sementara prajurit TNI sudah bersiaga di Lapangan Monas.

Pengerahan militer di kawasan Monas melibatkan kendaraan tempur berat. Aksi ini mengingatkan sebagian kalangan pada peristiwa 17 Oktober 1952, ketika militer mengerahkan kendaraan tempur berat ke Istana. Aksi yang disebut-sebut sebagai protes terhadap kepemimpinan Sukarno saat itu.

Tanda-tanda kejatuhan Gus Dur pun semakin jelas. Namun, ketegangan politik pada Juli 2001 itu sejatinya adalah rangkaian dari perseteruan politik yang terjadi jauh hari sebelumnya.

Perseteruan Gus Dur dan Politisi Senayan

Tak ada penyebab tunggal yang bisa menjelaskan krisis politik antara parlemen dan Gus Dur kala itu. Krisis ini adalah buah dari persoalan demi persoalan yang menumpuk tanpa penyelesaian, yang melibatkan parlemen dan presiden.

Dalam bunga rampai berjudul Pengawasan DPR Era Reformasi: Realitas Penggunaan Hak Interpelasi, Angket, dan Menyatakan Pendapat yang diterbitkan LIPI Press 2014 silam, ditulis bahwa legislatif menggunakan hak angket atas Gus Dur untuk perkara dugaan korupsi Buloggate dan Bruneigate pada September 2000. Dua kasus yang dituduhkan ke Gus Dur itu tak pernah terbukti secara hukum sampai hari ini.

Hasil pansus Buloggate dan Bruneigate yang menuding indikasi keterlibatan Gus Dur selaku presiden kemudian berbuah memorandum I dan II.

Gus Dur menjawab Memorandum I namun mengabaikan yang kedua karena merasa telah menjawabnya di Memorandum 1. DPR kemudian membalas dengan rekomendasi Sidang Istimewa MPR, hasil keputusan rapat Badan Pekerja MPR 1 Juni 2001. Dalam rekomendasi itu, Sidang Istimewa MPR sedianya digelar 1 Agustus 2001.


Interpelasi selanjutnya adalah permintaan keterangan karena mencopot Jusuf Kalla (JK) dan Laksamana Sukardi dari kabinet persatuan nasional. JK adalah elite Golkar, sementara Sukardi politikus PDIP. DPR juga menggunakan dua hak interpelasi selama periode singkat kepemimpinan Gus Dur. Interpelasi pertama dilayangkan mempertanyakan keputusan Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial.

"Jadi kemarahan partai-partai itu karena Gus Dur mengganti menteri. Menteri BUMN Laksamana Sukardi dan JK. Itu dua menteri dari parpol terbesar. Itu kesalahan secara politik [Gus Dur]," kata peneliti Gus Dur, Ahmad Suaedy, kepada CNNIndonesia.com, Kamis (15/7)

Suaedy mengatakan ada alasan mengapa presiden mencopot Sukardi dan JK, serta rela bersitegang dengan dua parpol dua besar di DPR saat itu. Ia tak mengungkap alasan itu.

INSERT PROFIL SINGKAT GUS DUR(CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)

Langkah Gus Dur melakukan reformasi dalam tubuh TNI/Polri ikut dianggap sebagai penyulut krisis politik. TNI/Polri saat itu masih merupakan kekuatan politik yang terwakili di parlemen dengan nama Fraksi TNI/Polri.

Gus Dur membuat lompatan signifikan ketimbang pendahulunya, Presiden BJ Habibie, dalam upaya demiliterisasi politik. Dia terus mendorong pemisahan TNI dan Polri, sebuah kebijakan substantif yang menegaskan pemisahan TNI dengan sipil. Lewat itu Gus Dur mengirim pesan agar militer kembali ke barak, fokus mengurus pertahanan negara.

Demiliterisasi politik yang diupayakan Gus Dur tak berjalan mulus. Beberapa kebijakannya menggantikan sejumlah perwira tinggi di kepolisian dan TNI, menyulut polemik yang pada akhirnya melibatkan parlemen.

Kebijakannya mengaktifkan lagi jabatan Wakil Kapolri dengan menunjuk Chaerudin Ismail mendapat kritik. Puncaknya saat Gus Dur memecat Kapolri Surojo Bimantoro awal Juli 2001.

Tak berselang lama, 20 Juli 2001 Gus Dur membuat 'blunder' dengan mengangkat Chaerudin sebagai pejabat sementara Kapolri tanpa konsultasi terlebih dulu dengan parlemen.

Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mesin politik Gus Dur, saat itu Effendy Choiri mengatakan ada pergerakan para politikus di luar Parlemen maupun di dalam Parlemen semacam untuk menjatuhkan Gus Dur.

"Terus Gus Dur difitnah menerima uang dari Sultan Brunei. Padahal Gus Dur enggak seringgit pun, enggak menerima itu, dalam pengadilan juga enggak terbukti. Kemudian macam-macamlah. Juga situasi politik Gus Dur enggak mau berkompromi pada skenario elite politik," kata Effendy yang kini politikus NasDem.

"Akumulasinya Gus Dur harus segera dijatuhkan dengan berbagai cara itu," imbuhnya.

Langkah Gus Dur mencopot Bimantoro membuat posisinya kian terpojok. Sebaliknya, wacana pemakzulan semakin menguat. Gus Dur diklaim melanggar haluan negara, serta tak berkonsultasi dengan DPR soal penggantian Kapolri.

Sehari sebelum pengangkatan Chaerudin, 19 Juli 2001, Ketua MPR Amien Rais bahkan telah mengumumkan Sidang Istimewa MPR yang sedianya digelar pada Agustus dipercepat menjadi 23 Juli 2001. Di tanggal itu, tepat 20 tahun pada hari ini, Gus Dur dimakzulkan oleh MPR.

Buka halaman selanjutnya...

Dekrit dan 'Peluru Hampa' Gus Dur

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER