Alissa: Kemungkinan terburuk, kudetanya berdarah. Dan kami menyadari itu. Tapi ya sudah. Saat itu, saya benar-benar sadar bahwa kadang kita akan melakukan apa pun. Bagi Gus Dur demi idealisme, bagi kami demi cinta. Saya juga sempat tanya, kenapa Bapak masih bertahan di kondisi kayak gini, orang sudah sebegitu salah paham kepada Bapak. Kok, masih bertahan. Beliau menyampaikan bahwa, siapa pun yang jadi presiden akan mengalami hal berat seperti ini.
Inayah: Ketakutan bahwa ayah saya itu diturunkan itu ada, jelas. Dan ketika itu akhirnya terjadi ya sudah. Perasaan itu seperti disuntik rasa sakit. Jadi begitu udah dilengserin, rasanya udah. Dan kami ingat betul nonton televisi ketika ada yang dilantik (menggantikan Gus Dur), sambil makan nasi Padang membeli di seberang (Istana). Kebetulan teman saya lagi ngurus surat-surat di Istana, kami berdua makan eskrim dan nonton ramai-ramai, dan itu tidak setegang waktu dilengserin.
Lihat Juga : |
Alissa: saya marah ya. Marahnya sudah agak lama, pada akhir masa kehamilan saya. Kemudian, saya marah karena Gus Dur, tidak pernah berjuang untuk dirinya. Gus dur tidak pernah, mencari keuntungan pribadi. Dan itu terbukti sampai akhir hayat beliau, saya sering cerita. Beliau utang minta uang pegangan sehari-hari ke saya. Itu sudah sangat membuktikan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yenny: Gus Dur, pasti marahlah. Dalam artian bahwa yang buat beliau marah itu, ada tindakan inkonstitusional yang dilakukan waktu itu. Sempat ada upaya yang dilakukan beberapa politisi melobi Gus Dur, agar mau sharing power dengan Mbak Mega (Megawati Soekarnoputri). Jadi kekuatan eksekutif dibagi. Kekuatan presiden dibagi. Sehingga Wapres juga punya kewenangan besar. Nah, itu mungkin negosiasi agar, bisa selamat. Tapi buat Gus Dur, kalau kayak begitu artinya secara konstitusional nggak boleh.
Anita: Sedih dan kecewa. Ada marah juga. Marahnya itu lebih ke Bapak itu dijahati orang sudah sering. Dari masa Orba sudah dijahati orang. Tapi Bapak sering belain, banyak orang yang percaya. Tapi kemarahan saya saat itu, karena yang belain makin sedikit. Yang dulu teman jadi begini, yang dulu dibelain jadi begini. Ya, tapi itu sebenarnya memperlihatkan ke saya, dunia politik dan kekuasaan, nggak pernah ada yang abad.
Alissa: Bagi kami, itu catatan sejarah. Kayak waktu itu Pak Akbar Tanjung dalam posisinya. Itu kan klir posisi sejarah. Atau Pak Wiranto. Posisinya jelas. Mbak Mega. Pas awal, kita semua pada sakit hati sebetulnya. Ketika Mbak Mega, kalah dalam pemilu 2004, lalu Gus Dur memutuskan untuk bertandang ke rumah Mbak Mega. Kita kan masih sakit hati. Masih menyimpan, Yenny apalagi.
Alissa: Iyalah. Tapi Gus Dur bilang, sudah lewat. Namanya politik ya begitu. Terus, Pak Akbar Tanjung, setiap lebaran ke Ciganjur. Biasa saja. Gus Dur bisa membedakan manusia dengan tindakannya. Makanya, beliau enteng saja sowan ke Pak Harto, walaupun beliau berseberangan secara politis. Dan itu teladan langsung dari Gus Dur. Tetapi kami tentu tidak akan lupa. Kami punya reserve kalau sekarang berinteraksi secara politis. Karena dulu paradigma politik yang membuat situasinya seperti itu.
![]() |
Alissa: Jadi tiga minggu sebelum beliau wafat, menemani Gus Dur di rumah sakit (RSPAD). Beliau menyampaikan, nanti kalau sudah sehat Bapak mau ketemu sama Pak SBY (Presiden saat itu). Terus saya bingung. Gus Dur bilang begini, mau ngapain Pak? 'Pokoknya bapak mau membuat pernyataan bahwa, [Presiden] berhenti di tengah jalan itu sudah tidak boleh jadi tradisi di Indonesia'.
Demokrasi harus fully functioning. Kita boleh tidak setuju pada kebijakan presiden yang sekarang, tapi nggak boleh ada pemakzulan lagi. Itu ceritanya, Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, terus Gus Dur. Sejarah Indonesia itu--dalam bahasa Gus Dur--kayak di Timur Tengah, pergantian kekuasaan itu kudeta.
Yenny: Intinya kita enggak mau lagi, biarlah Gus Dur jadi presiden terakhir yang dimakzulkan di negeri ini karena syahwat politik musuhnya yang ingin berkuasa. Intinya jangan sampai ada lagi lah presiden dimakzulkan karena musuhnya ingin berkuasa. itu akan mengganggu konsolidasi kebangsaan kita. itu akan mengganggu konsolidasi moral, politik, dan lainnya. Toh, ketika digantikan apa kondisi membaik? Enggak juga. Itu saja yang jadi pelajaran.
(kid/wis)