Sebanyak 417 pasien Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dilaporkan meninggal dunia saat menjalani masa isolasi mandiri (isoman) sebulan terakhir.
Angka tersebut tercatat dalam pendataan giat pemakaman Tim Reaksi Cepat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (TRC BPBD) DIY.
Wakil Komandan TRC BPBD DIY Indrayanto menuturkan, angka 417 ini tercatat pendataan 20 Juni sampai dengan 21 Juli 2021.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Catatan yang kami tulis ini hanya berlaku positif antigen atau pun PCR. Baik dia diswab sebelum meninggal hasilnya positif atau pasca meninggal diswab hasilnya positif," kata Indrayanto di Kantor BPBD DIY, Semaki, Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Jumat (23/7).
Kata Indra, sapaan Indrayanto, 417 orang ini meninggal sebelum mendapat penanganan rumah sakit. Sebagian dilaporkan wafat di rumah masing-masing, sisanya saat dalam perjalanan menuju fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes).
"MD isoman itu kami artikan dia belum masuk rumah sakit, apakah dia meninggal di depan rumah sakit saat menunggu, itu kami anggap isoman. Tapi kebanyakan meninggalnya di rumah, kalau yang meninggal saat proses nyari rumah sakit ya ada," urainya.
Sepenuturan Indra, berdasarkan keterangan pihak keluarga pasien, cukup banyak dari mereka yang meninggal di rumah ini sebelumnya oleh fasyankes diberi opsi menjalani isolasi mandiri.
Pasalnya, lanjut Indra, kebanyakan pelaku isoman yang meninggal ini oleh fasyankes sebelumnya didiagnosa mengalami gejala ringan hingga sedang.
"Yang di rumah itu dipastikan diagnosanya ringan-sedang," bebernya.
Pihaknya turut menyesalkan hal ini. Semestinya, tambah Indra, para pasien lebih didorong untuk masuk ke shelter ketimbang diberi opsi yang salah satunya adalah melakukan isoman.
"Dari puskesmas atau petugas rumah sakit saya beberapa kali menemui, (pasien) ditawari. Anda isolasi mandiri di rumah atau di shelter. Tidak didorong. Harusnya, harus ke shelter," tegasnya.
Indra beranggapan, menghabiskan masa karantina di shelter lebih terjamin dari segi pengawasan, kebutuhan medis dan lain sebagainya. Dibandingkan melakukan isolasi mandiri yang belum tentu terbebas dari tekanan psikologis jika kondisi menurun, maupun stigma negatif dari lingkungan tinggalnya.
Di satu sisi, warga juga diimbau tak semata-mata mengandalkan pengawasan dari puskesmas yang menurut monitoring Indra cs belum bisa maksimal. Dalam artian tidak semua fasyankes ini melakukan pemantauan terhadap pasien selama 24 jam penuh atau berkala.
"Di rumah ketika kita berharap ada layanan surveilans dari puskesmas kan nggak sama semua, yang harian tanya, gimana kondisi, kan nggak. Kalau di shelter tiap hari diajak senam, edukasi, bisa komunikasi sama keluarga," paparnya.
Namun, kasus pasien meninggal ketika menjalani isolasi di shelter bukan berarti nihil. Kendati Indra memastikan jumlahnya sangat rendah. Seingatnya, cuma 3 kasus saja malah.
"Di awal-awal 2020, semua begitu. Begitu positif, diambil sama ambulans, pindah ke shelter. Dan angka meninggal di rumah rendah banget," tandasnya.
(kum/psp)