Jakarta, CNN Indonesia --
Hoaks soal vaksin Covid-19 di grup-grup Whatsapp diakui berperan dalam kasus kematian terkait Covid-19 di sejumlah daerah. Kalangan orang tua jadi pihak yang rentan.
M. Nizar (27) masih menyesali kepergian ayahnya, Badrul Komar (57), yang sempat 23 hari berjuang melawan Covid-19 dengan gejala berat lantaran tak sempat mendapat vaksin Virus Corona.
Dirinya sudah berupaya menjelaskan berulangkali soal vaksin itu. Namun, katanya, mendiang "tetap kekeuh dengan pendiriannya" karena memilih percaya pada grup Whatsapp.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemakan hoax, mbak. Hampir semua orang yang lansia tidak percaya Covid-19 dan tidak mau divaksin karena takut efek sampingnya," ujar dia, dalam perbincangannya dengan CNNIndonesia.com, Selasa (27/7).
Lewat kicauan via akun Twitter-nya, Nizar menuturkan kasus Corona yang menimpa keluarganya itu bermula saat mendiang bapaknya turut mengantar jenazah tetangga yang meninggal dunia ke Madura, Sabtu (24/7).
Sang tetangga meninggal bukan karena sakit dan juga tidak terkonfirmasi positif Covid-19. Meski sempat ragu, Badrul manut dan ikut berangkat ke Madura.
Ia tiba di rumah keesokan harinya tanpa langsung bersih-bersih dan mengganti baju selepas mengantar jenazah. Nizar pun mengaku lupa mengingatkan ayahnya.
Dua hari setelahnya, Nizar, Badrul, ibu, dan adiknya mengalami anosmia atau kehilangan kemampuan indra penciuman. Bapak dan ibunya mulai merasakan sakit di kepala dan sekujur tubuh.
Nizar dan adiknya juga mulai merasakan demam, namun segera pulih setelah mengkonsumsi Parasetamol. Tak lama ibunya pun menyusul pulih dari sakit. Sementara kondisi bapaknya tidak kunjung membaik dan terus mengalami sesak napas.
Sampat saat itu, Nizar belum menyadari yang mereka rasakan adalah gejala Covid-19. Namun, mereka sudah memutuskan mengisolasi diri. Selain untuk antisipasi, mereka juga tidak bisa beraktivitas karena kondisi tubuh yang tidak memadai.
Kondisi Badrul terus memburuk dengan tingkat saturasi 90 persen di hari kelima sejak muncul gejala. Nizar kemudian mulai curiga bapaknya terpapar Covid-19. Ia pun berupaya mencarikan perawatan untuk bapaknya, namun semua rumah sakit penuh.
Sempat terpikir di benak Nizar untuk melaporkan kasus keluarganya ke Puskesmas agar bisa diperiksa. Namun, niat itu ia urungkan karena melihat psikologis bapaknya yang sangat terpuruk serta enggan makan jika tidak dibujuk istri dan anaknya.
 Infografis Waspada Hoaks Corona. (Foto: Dok. Satgas Covid-19) |
"Setelah tahu tidak ada keluarga yang boleh mendampingi, saya urungkan niat saya [membawanya ke RS]. Karena itu tadi ayah saya enggak mau makan," tutur dia, yang menjadi satu-satunya yang divaksin di keluarga tersebut.
Mereka memilih berupaya mengurus bapaknya sendiri di rumah. Untuk mengatasi sesak nafasnya, Nizar berupaya mencari tabung oksigen yang tengah langka.
Sementara, kondisi Badrul terus menurun sampai tiga kali mengalami sesak napas hebat, pada Minggu (18/7), hingga kemudian "Bapak menghembuskan nafas terakhirnya."
Lantaran itulah, Nizar, yang berprofesi sebagai guru, meminta semua pihak menyetop penyebaran hoaks Covid-19 demi mencegah kasus yang sama.
"Jadi tolong berhenti jadi dokter dadakan atau penyebar hoax mengenai pengobatan dan penyebaran Covid-19," cetusnya.
Senada, Helmi Indra (34), dikutip dari detik.com, mengakui ada peran hoaks soal vaksin dan pengobatan Covid-19 di media sosial terkait kematian ayahandanya, Nuryaman.
Mulanya, sang ayah, yang memiliki komorbid diabetes, dinyatakan positif usai swab antigen pada 6 Juli, setelah mengaku merasa kelelahan dan ada riwayat kontak dengan anak bungsunya, Arrin, yang positif Covid-19.
Saat kondisinya semakin payah, Nuryaman enggan menyentuh obat-obatan terapi Covid-19 yang dibawakan anaknya yang bekerja di bidang kesehatan. Ia hanya mengonsumsi vitamin dan obat antinyeri.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Indra menyebut sejak awal ayahnya tak percaya Covid-19 karena sering membaca tulisan-tulisan di media sosial.
Misalnya, di hari kedua usai dinyatakan positif Corona, Nuryaman masih membaca broadcast di grup aplikasi percakapan yang berisi pendapat seorang dokter perempuan yang menyebutkan bahwa "Mati itu bukan karena virus, tapi karena interaksi obat".
Sebelumnya, seorang tenaga kesehatan dr. Lois, lewat acara talkshow Hotman Paris menyatakan tak percaya Covid-19. Menurutnya, kematian terkait Corona lebih disebabkan interaksi obat.
Lois kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus UU ITE, dan mengakui opininya tak berdasarkan riset.
Tak cuma soal obat, lanjut Indra, Nuryaman juga enggan mengikuti vaksinasi lantaran percaya informasi bahwa vaksin Covid-19 mengandung babi.
"MUI sudah jelas bilang kalau vaksin itu halal, Pak," ucap Indra, yang kemudian dibalas ayahnya dengan kalimat, "Takut, tuh, sama Allah, jangan sama virus".
"Kalau sudah kayak gitu, kan bingung juga mau bilangin kayak gimana lagi," ujar Indra.
Saat dirawat di rumah, kondisi Nuryaman semakin berat. Saturasi sempat menyentuh angka 80. Oksigen pun sudah dihabiskan. Rabu (14/7), ia dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit di dekat rumahnya.
Namun, Nuryaman terus mengalami perburukan kondisi dan tak tertolong lagi meski sudah masuk ruang isolasi.
"Jempol sekarang udah bisa membunuh hanya dengan share berita hoaks. Ayah saya memang meninggal karena Corona, lalu komorbid diabetes jelas tambah membahayakan. Cuma faktor terbesarnya jelas hoaks ini yang membunuh ayah saya," cetus Indra.
Diketahui, sejumlah hoaks soal vaksin dan pengobatan Covid-19 ramai tersebar di grup percakapan Whatsapp dan media sosial lainnya.
Dikutip dari kanal Hoax Buster di situs covid-19.go.id, kabar-kabar bohong itu di antaranya adalah bertajuk "BREAKING NEWS: Semua orang yang divaksinasi akan mati dalam 2 tahun" dengan mengklaim berdasarkan keterangan "ahli virologi top dan Pemenang Hadiah Nobel Luc Montagnier".
Selain itu, hoaks "SUDAH SAATNYA AKHIRI DRAMA SINETRON COVID'19.(CORONA)" yang mengklaim Covid-19 tidak mematikan; Vaksin Covid-19 Mengandung Microchip Magnetik, hingga membuat logam bisa menempel di titik suntikan vaksin.
 Insert Artikel - Waspada Virus Corona. (Foto: CNN Indonesia/Fajrian) |
Ada pula soal klaim pernyataan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh bahwa vaksin Corona haram karena lebih banyak mudharatnya.
Berdasarkan data Kemenkes, per 26 Juli, jumlah lansia yang telah divaksin mencapai 4.780.438 orang untuk dosis pertama (22,18 persen dari target) dan 3.073.295 orang untuk dosis kedua (14,26 persen dari target).
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyebut hoaks menghambat penanganan pandemi.
"Menyebarkan informasi yang belum dapat diverifikasi sama saja dengan menyebarkan berita bohong atau hoax, dan ini tentunya akan menghambat upaya pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 di Indonesia," ujar dia, Jumat (28/5).
Senada, Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menyatakan hoaks di media sosial sangat berbahaya terkait penanganan pandemi.
"Sudah banyak akses yang memudahkan kita untuk mengecek kebenaran informasi yang kita terima. Jadi jangan langsung percaya begitu saja dengan informasi yang beredar, khususnya di media sosial," ujarnya.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Hermawan Saputra juga meminta masyarakat benar-benar menyaring informasi dengan mengeceknya ke sumber resmi. Pasalnya, Covid-19 itu nyata dan masih ada di sekitar kita.
"Kemampuan kita memverifikasi dari sumber resmi, itu yang akan memudahkan kita juga mempertanggungjawabkan apa yang menjadi materi atau bahan dari diskusi," ungkapnya.
"Kita harus sadar, Covid-19 ini masih ada di sekitar kita. Kita harus sadar bahwa kenaikan kematian dan kesakitan masih berlangsung di sekitar kita. Maka Covid-19 ini walaupun tidak kasat mata penyebabnya, tapi dia nyata," tandasnya.