Presiden Joko Widodo menyebut perlu ada reformasi sistem perlindungan sosial untuk mencegah kenaikan angka kemiskinan akibat pandemi.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan hal itu dilakukan untuk mengatasi dampak pandemi.
"Kita harus berjuang agar dampak pandemi Covid-19 tidak menyebabkan kenaikan kemiskinan dan kerentanan. Presiden telah mengarahkan perlu dilakukan reformasi sistem perlindungan sosial," ucap Suharso dalam kanal YouTube Bappenas RI, Kamis (12/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS), kemiskinan di Indonesia per Maret 2021 mencapai 10,14 persen atau 27,54 juta orang. Angka itu mengalami kenaikan sebanyak 1,12 juta orang dari Maret 2020.
Sementara itu, angka kemiskinan ekstrem juga mengalami peningkatan dari tiga persen menjadi empat persen. Kemiskinan ekstrem meliputi sulitnya mengakses kebutuhan makanan, minuman, Pendidikan sampai kesehatan.
Suharso menyebut reformasi perlindungan sosial bertujuan untuk mengembangkan sistem yang lebih inklusif, tepat sasaran, berkesinambungan, adaptif di masa mendatang.
Ia mengakui data perlindungan sosial di Indonesia belum seluruhnya sesuai dengan kondisi masyarakat. Sehingga, hal utama yang akan dilakukan oleh pihaknya adalah membuat sistem registrasi sosial ekonomi.
"Untuk menjawab goncangan ekonomi dan sosial seperti pandemi covid-19 seperti ini, cakupan data yang lebih luas dan universal dan keterjangkauan untuk mengidentifikasi seluruh kelompok yang terdampak itu sangat diperlukan," ucapnya.
Selain itu, ia juga mengakui data perlindungan sosial masih terpecah-pecah sehingga harus diintegrasikan agar penyaluran bantuan efektif dan efisien. Integrasi data itu, lanjutnya, akan dilakukan dengan pemutakhiran secara berkala.
![]() |
"Dibutuhkan program integrasi program perlindungan sosial sehingga kita bisa melakukan transformasi program subsidi menjadi bansos. Kita akan melakukan integrasi perlindungan sosial sebagaimana tadi telah kami sampaikan bapak presiden telah mengarahkan untuk melakukan penyederhanaan," ujarnya.
Sebelumnya, penyaluran bansos sempat bermasalah akibat data ganda. Terakhir, Menteri Sosial Tri Rismaharini memangkas penerima dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) hingga 53 juta jiwa.
Pasalnya, ada duplikasi data DTKS dengan data program bantuan sosial lainnya yakni program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Sosial Tunai (BST), dan Program Keluarga Harapan (PKH).
Ia menjelaskan, dalam data awal ada total 193.002.816 jiwa penerima bantuan sosial. Setelah penggabungan data berdasarkan NIK penerima, nama, dan alamat, jumlahnya menyusut menjadi 155.898.896 penerima bansos.
(yla/arh)