Padang, CNN Indonesia --
Rumah warga hingga surau berulang kali dikunjungi. Masyarakat digugah, terutama kaum ibu atau bundo kanduang, agar mau menyumbangkan perhiasan emasnya untuk patungan beli pesawat negara Indonesia.
Seperti itulah kerja anggota panitia yang dibentuk Mohammad Hatta di Sumatera Barat dua tahun setelah Indonesia merdeka. Alim ulama turut membantu menggugah partisipasi masyarakat dan menerangkan tujuan dari niat baik itu.
"Hanya dalam waktu dua bulan saja, seluruh perhiasan tersebut sudah terkumpul sebuah delek Kariba atau kaleng minyak goreng," ujar pemerhati sejarah Minangkabau, Undri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tepat pada Desember 1947, masyarakat Minangkabau berhasil membeli sebuah kapal terbang. Hanya dua bulan mengumpulkan emas, pesawat bisa didatangkan ke Pelabuhan Udara di Nagari Gadut, kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Membantu Negara
Agresi militer yang dilakukan Belanda di sejumlah wilayah membuat gerak pemerintah Indonesia menjadi terbatas. Jalur darat dan laut diblokade. Hanya udara yang masih memungkinkan.
Sukarno dan Mohammad Hatta lantas bertekad memiliki pesawat terbang untuk urusan kenegaraan. Namun, kala itu tekad berbentur dengan keuangan negara yang cekak. Masyarakat pun dilibatkan.
Mohammad Hatta bertolak ke Bukittinggi, Sumatera Barat dan menceritakan itu semua. Tokoh adat dan alim ulama turut diberi penjelasan dan diajak untuk terlibat aktif. Niat negara disambut positif.
Hatta lalu membentuk sebuah panitia pengumpul emas. Resmi dibuat pada 27 September 1947. Diketuai Mr. Abdoel Karim selaku Direktur Bank Negara. Beberapa pengurusnya merupakan rombongan Hatta dari Yogyakarta, yaitu bekas Bupati Jawa Timur Suryo, serta R.S Suria Atmadja dan Mr. Mohammad Rasjid yang merupakan Residen Sumatera Barat.
Selain anggota panitia tersebut, tokoh-tokoh adat dan alim ulama turut dilibatkan secara aktif untuk mengumpulkan emas dari warga.
Undri, seorang pemerhati sejarah Minangkabau, yang sekaligus Kepala Balai Pelestarian cagar Budaya Sumbar mengatakan peran ulama sangat penting kala itu. Di surau, mereka menggugah partisipasi masyarakat.
"Dulu kan orang Minang tempat pertukaran informasinya itu di surau, jadi para ustaz menyiarkan rencana tersebut dari surau ke surau, dan selalu mendapat respons yang baik dari setiap warga surau," kata Undri.
Tokoh adat dan ulama menjelajahi banyak lokasi demi mendapatkan bantuan. Bahkan hingga ke Padang Panjang yang terletak sekitar 21 kilometer dari Kota Bukittinggi. Hasilnya, sangat memuaskan.
Masyarakat, terutama kaum ibu atau bundo kanduang, banyak yang tergugah untuk memberikan emasnya. Baik itu berupa kalung, subang, gelang, maupun cincin emas.
"Semua dilakukan secara karilaan atau suka rela oleh para kaum ibu tersebut, bahkan ada juga yang menyumbangkan mas kawinnya" tutur Undri.
Berselang dua bulan, emas yang terkumpul telah mencapai satu kaleng minyak. Kemudian dilebur dan dijadikan lempengan emas batangan dengan berat 14-15 kilogram.
Akhir November 1947, Emas batangan diserahkan secara resmi oleh Majelis Pertahanan Rakyat Daerah Sumatera Barat yang dipimpin oleh Chatib Sulaiman kepada Mohammad Hatta di Gedung Agung (kini Istana Bung Hatta) di Bukittinggi.
Bekas Perang Dunia II
Usai menerima bantuan dari warga Sumbar, Hatta lekas menempuh langkah berikutnya. Dia menugaskan Abu Bakar Lubis dan timnya mencari pesawat yang bisa dibeli.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Dua staf Perwakilan RI di Singapura yang kebetulan putra Minangkabau yakni Letnan Penerbang Mohammad Sidik Tamimi alias Dick Tamimi dan Ferdy Salim mengetahui kabar rencana pembelian pesawat. Mereka lalu menghubungi Abu Bakar Lubis.
Mereka mengenalkan pialang bernama Savage. Kemudian, Savage mempertemukan tim pencari pesawat itu dengan seorang mantan pilot Royal Air Force Inggris, berkebangsaan Australia, Paul H Keegan.
Paul H Keegan memiliki sebuah kapal terbang berjenis Avro Anson bekas Perang Dunia II yang berada di Shongkla, Thailand Selatan. Setelah Perang Dunia II berakhir, banyak pesawat yang sebelumnya digunakan dijualbelikan begitu saja, termasuk pesawat milik Keegan.
Harga cocok, yakni 12 kilogram emas. Pesawat diboyong. Pada awal Desember 1947, pesawat terbang jenis Avro Anson didatangkan ke lapangan udara Gadut Agam dengan nomor registrasi VH-BBY yang kemudian menjadi RI-003.
Pada saat pesawat pertama kali mendarat di pangkalan udara Gadut, semua orang yang melihatnya bersorak sorai Bahagia. Tak sedikit pula yang menangis terharu karena berhasil membantu negara dengan membelikan pesawat.
"Sebelum pesawat tiba, bandara sudah dipenuhi oleh banyak orang, dan ketika pesawatnya landing, orang-orang bersorak sorai Bahagia," kata Undri, pemerhati sejarah Minangkabau.
Jatuh di Selat Malaka
Usai mendapat identitas RI-003, pesawat yang baru dibeli langsung dipakai menuju Thailand mengantar Keegan sang penjual. Abu Bakar Lubis, Is Yasin, dan Dick Tamimi ikut serta. Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi juga ikut bersama.
Selain itu, mereka juga berniat membeli senjata serta barang-barang lain yang dibutuhkan di dalam negeri. Akan tetapi, mereka dituduh menyelundupkan candu dan emas oleh polisi setempat.
Akibatnya, Abu Bakar Lubis, Is Yasin, dan Dick Tamimi diusir. Mereka pergi dari Thailan lewat jalur darat menuju Malaysia, Singapura hingga Bukittinggi.
Sementara itu, Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi diperintahkan membawa pulang pesawat RI-003 oleh otoritas setempat. Mereka berangkat dari Thailand pada 14 Desember 1947.
Abu Bakar Lubis, yang pulang melalui jalur darat, mendapat kabar ketika tiba di Singapura. Dia mendapat telegram dari kepolisian berisi info satu unit pesawat Avro Anson jatuh di pantai Selat Malaka, Negeri Perak, Malaysia.
Dari pemeriksaan otoritas setempat, ditemukan sejumlah barang yang kemudian dipastikan bahwa itu semua milik Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi. Dengan demikian, pesawat yang jatuh itu memang RI-003.
"Jadi, pesawat Avro-Anson itu tidak pernah dioperasikan untuk kepentingan perjuangan sebagaimana yang diinginkan. Bangkainya terkubur dalam arus laut Selat Malaka, bersama sejarahnya yang tak pernah dipedulikan lagi," kata Undri, sejarawan Minang.
Pada tahun 2003, muncul keputusan pemerintah untuk membuat tugu berupa replika Avro Anson di bekas lokasi Lapangan Udara Gadut. Nama Iswahyudi diabadikan untuk lapangan terbang di Malang, sedangkan Halim Perdanakusuma dipakai untuk nama pangkalan utama TNI AU di Jakarta.
"Kaum Bundo Kanduang Sumatera Barat tidak pernah melihat hasil sumbangan perhiasan emas yang mereka serahkan untuk membeli pesawat itu," kata Undri.
Pada hari Bakti TNI AU ke-74 pada 29 Juli lalu, personel TNI AU mengecat ulang monumen pesawat Avro Anson. Komandan Pangkalan Udara Sutan Sjahrir, Kolonel Pnb. Muhammad Rizal Yudha Fahlefie mengatakan proses pengecatan memakan waktu dua pekan.
"Sejak dibangun pada 2003 lalu, monumen bersejarah itu belum pernah dicat. Sehingga kami melakukan proses pengecatan ulang pada pesawat. Warnanya harus dikembalikan ke warna asalnya, yaitu warna silver," jelas Fahlefie.