Jakarta, CNN Indonesia --
Karena keberaniannya mengkritik pemerintah Belanda Rasuna Said, dijuluki singa betina. Ia digambarkan sebagai tokoh perempuan garang di masa silam.
Sejak belia, Rasuna Said menceburkan diri ke dalam organisasi berpaham militan dengan cita-cita kemerdekaan. Kemajuan pendidikan dan peningkatan martabat pribumi jadi orientasi utamanya.
Dia adalah representasi perempuan terdidik bersuara lantang yang melewati tiga zaman. Namanya tak pernah mati. Si jago propaganda, Hajjah Rangkayo Rasuna Said.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masa Kolonialisme Belanda
Jajang Jahroni, lewat bukunya bertajuk Ulama Perempuan Indonesia (2002), menceritakan bahwa Rasuna Said mulai terlibat dalam pergerakan melawan kolonialisme sejak 1926. Kala itu ia bergabung dengan Sarekat Rakyat.
Sarekat Rakyat merupakan kelompok militan berlabel kiri. Pandangan anggotanya kental dengan buah pemikiran Tan Malaka, tokoh pergerakan komunis asal Sumatera Barat.
Usia Rasuna masih belia saat bergabung, yakni 16 tahun. Tetapi baginya tak jadi soal. Semangat juang sudah mengaliri nadi. Gerakan harus sudah dimulai.
Rasuna Said dikenal sebagai anggota berwatak keras dan paling vokal mengkritisi kebijakan pemerintah kolonial di Sumatera Barat.
Orasinya seringkali menohok tajam. Galak menyerang pemerintah kolonial. Tak jarang dia dipaksa turun dari mimbar karena dianggap berbahaya bagi Belanda.
Kritik pedas membuat Rasuna Said membuatnya harus mendekam di penjara pada 1932. Dia tercatat sebagai perempuan pertama yang terkena hukum kolonial Belanda karena bicara menentang Belanda (Speek Delict).
Reputasinya dikagumi meski masih muda. Keberaniannya tak bisa diragukan. Singa Betina kemudian jadi julukannya.
"Kita bisa tahu bagaimana dia vokal dalam menyuarakan pembebasan dari pemerintah kolonial hingga dia mendekam di penjara, jangan lupa bahwa Rasuna Said adalah seorang perempuan yang dipenjara," kata Sejarawan Andi Achdian.
Keluar penjara, dia berkecimpung di dunia surat kabar. Pada 1935, Rasuna Said menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah Raya, di Sumatera Barat.
Majalah yang dikenal sebagai tonggak perlawanan ini tanah Minang ini mendapat banyak tekanan dari pemerintah Belanda. Merasa ruang geraknya terbatas, Rasuna Said pindah ke Medan, Sumatera Utara.
Di Medan, pada 1937 ia mendirikan perguruan putri. Dia juga membuat surat kabar mingguan bernama Menara Poeteri yang banyak bicara soal kesetaraan perempuan, dan selalu ada sisipan anti-kolonialisme di tiap tulisannya.
Pada 1940, Rasuna Said bergabung dengan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Dia bertugas sebagai juru propaganda, mendirikan sekolah, tempat kader-kader PERMI belajar membaca dan menulis.
Era Pendudukan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang sejak 1942, kiprah juang Rasuna Said terus berlanjut. Ia menggagas berdirinya perkumpulan Nippon Raya.
Perkumpulan itu sebenarnya dibentuk dengan tujuan membentuk kader perjuangan melawan Jepang. Namun pergerakannya terendus Jepang. Rasuna Said lalu dituduh menghasut masyarakat.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Namun Rasuna tak kembali menghuni jeruji penjara. Kala itu, Jepang lebih fokus terhadap aktivitas militer ketika Sekutu mulai melakukan ekspansi ke Asia Tenggara. Rasuna aman dari hukuman.
Masyarakat pun semakin tahu reputasi Rasuna. Kapasitasnya sebagai tokoh terdidik membuat banyak kalangan suka terhadapnya. Tak sedikit yang mengadukan kejanggalan kepada Rasuna. Seiring waktu, dia mendapat kepercayaan lebih untuk menyuarakan aspirasi di lembaga negara.
Revolusi Kemerdekaan
Rasuna Said bergabung dengan Badan Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) Kota padang pada 1945. Setelah Indonesia merdeka, Rasuna tergabung dalam Panitia Pembentukan Dewan Perwakilan Nagari.
Dewan ini kemudian melahirkan Dewan Perwakilan Sumatera pada 1946. Rasuna punya peran penting di sana selaku perwakilan anggota.
Ia juga ditunjuk bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Daerah Sumatera Barat (KNID-SB). Karena pengaruhnya yang kuat di Sumatera, Rasuna kemudian diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR-RIS) Sumatera Barat.
"Sejauh ini belum ada literasi yang mengangkat kiprah politik Rasuna Said di DPR-RIS, tapi kita tahu bagaimana dia begitu punya pengaruh besar di Sumatera Barat sehingga ditunjuk sebagai anggota DPR-RIS di sana," kata sejarawan Andi Achdian.
Bangsawan Turun ke Jalan
Hajjah Rangkayo Rasuna Said adalah anak bangsawan. Lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat pada 14 September 1910. Ayahnya Haji Muhammad Said adalah pengusaha sekaligus aktivis pergerakan di Sumatera Barat.
Meski berdarah biru, Rasuna tak canggung berada di tengah-tengah masyarakat kecil dan memperjuangkan hak-hak mereka akibat tekanan pemerintah kolonial.
Lulus dari sekolah agama Islam tingkat dasar, ia menuntut ilmu di pesantren Ar-Rasyidiyah, kemudian melanjutkan sekolah di Madrasah Diniyah Putri di Padang Panjang.
Kesadaran akan bentuk-bentuk penjajahan, perbudakan, dan kolonialisme mulai tumbuh saat dia bergabung dengan Sekolah Thawalib di Maninjau. Sekolah Islam Modern yang masih berdiri hingga saat ini itu dikenal melahirkan kaum pelajar yang kritis dan progresif.
Berawal dari pendidikannya di Thawalib, Rasuna Said mulai tak hanya melawan kolonialisme tapi juga adat bangsanya yang merendahkan martabat perempuan.
Kala itu adat masyarakat Minang mewajarkan praktik poligami, nikah muda, dan mendiskreditkan peran perempuan di bidang politik dan sosial. Meski dikenal dengan sistem maternal dari garis keturunan ibu, tak menjadikan posisi perempuan di Sumatera Barat kala itu setara dengan laki-laki.
"Rasuna Said tak hanya melawan penjajah, tapi juga adat budaya yang merendahkan martabat perempuan, dia berjuang supaya perempuan mendapat pendidikan di zaman itu," tutur Sejarawan Andi Achdian.
Rasuna Said wafat di usia 55 tahun karena penyakit kanker pada 2 November 1965. Diangkat menjadi Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 084/TK/1974 pada 13 Desember 1974.
Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta. Namanya diabadikan sebagai jalan protokol di Jakarta Selatan dan di Padang, Sumatera Barat.