Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti potensi konflik kepentingan dalam penetapan harga tes Polymerase Chain Reaction (PCR).
Peneliti ICW, Wana Alamsyah mengatakan potensi itu dipengaruhi salah satunya karena status rangkap jabatan Abdul Kadir sebagai Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan (Dirjen Yankes) sekaligus Komisaris Utama di salah satu BUMN yaitu Kimia Farma.
"Kita tahu bahwa Kimia Farma juga melayani pemeriksaan PCR begitu. Pertanyaan sederhana kami, bagaimana mungkin seseorang yang menetapkan harga PCR ini juga menduduki komisaris utama di dalam salah satu BUMN?" kata Wana dalam Youtube Lapor Covid-19, Jumat (20/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wana menilai, rangkap jabatan itu mempunyai potensi terhadap penetapan sampai evaluasi harga PCR. Terlebih, sampai saat ini, kata Wana, komponen dan evaluasi penetapan harga tidak pernah dibuka ke publik secara detail.
Pada 5 Oktober 2020 misalnya, Dirjen Yankes mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor HK 02.02/3713/2020 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan Real Time PCR Rp900 ribu. Lalu, pada 16 Agustus 2021 besaran harga itu diturunkan menjadi Rp495 ribu dengan dikeluarkannya SE nomor HK.02.02/1/2824/2021.
"Tentu kita bertanya-tanya kepada pemerintah apa indikator mahal dan murah? Apa dasar atau baseline mereka menetapkan tarif pemeriksaan," ucapnya.
Wana menyebut penurunan harga itu mempunyai selisih sebesar Rp405.000 dari harga sebelumnya. Artinya, kata dia, ada kemungkinan pengambilan keuntungan sebesar 45 persen sebelum harga diturunkan, Oktober 2020- Agustus 2021.
Selain itu, rangkap jabatan Abdul juga berpotensi melanggar UU 19/2003 tentang BUMN pasal 33 yang berbunyi; anggota komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai (1) anggota direksi pada BUMN, BUMD, Badan usaha milik swasta dan jabatan yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.
Potensi pelanggaran juga bersangkutan dengan UU 25/2009 tentang Layanan Publik Pasal 17 yang berbunyi pelaksana dilarang merangkap sebagau komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD. Lalu, pada pasal 1 ayat 5 juga dijelaskan, pelaksana pelayanan publik yang selanjutnya disebut di dalam organisasi pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja serangkaian tindakan pelayanan publik.
Terpisah, Abdul Kadir membantah dugaan adanya konflik kepentingan yang melibatkan dirinya dalam penetapan harga PCR. Ia menyebut penunjukan dirinya sebagai komisaris belum berlangsung lama.
Diketahui, Abdul ditunjuk sebagai komisaris utama untuk periode pertama berdasarkan keputusaan rapat umun pemegang saham tahunan (RUPS) tahun buku 2020 pada tanggal 28 April 2021 untuk menjabat sampai dengan RUPS tahun buku 2025.
Selain itu, kata Abdul, kapasitas dirinya sebagai komisaris di Kimia Farma adalah sebagai perpanjangan pemerintah dan masyarakat. Sehingga, tidak menyalahi aturan.
"Kalau ada konflik kepentingan itu tidak. Kenapa? karena saya juga diangkat jadi komisaris utama baru tiga bulan. Sedangkan ini kan sudah berlangsung sejak lama," ucap Abdul kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (21/8).
"Hampir semua pejabat eselon satu itu, saya ke situ sebagai wakil pemerintah dan jabatan saya sebagai Dirjen. Jadi bukan karena komisaris independen," imbuhnya.
Dia juga mengatakan harga PCR ditentukan lewat audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Abdul menjelaskan, BPKP akan menghitung semua unit cost hingga pada penentuan akhir harga yang pas didapat.
"Jadi bukan Kemenkes. Saya cuma mendapat hitungan dari BPKP," ucap dia.