Haedar Nashir Sindir TWK KPK hingga Amendemen UUD 1945

CNN Indonesia
Senin, 30 Agu 2021 15:15 WIB
Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyinggung TWK KPK, lomba menulis tentang hormat bendera menurut hukum islam, hingga amendem UUD 1945. (CNN Indonesia/Thohirin)
Jakarta, CNN Indonesia --

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir menyinggung polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagi pegawai KPK hingga lomba BPIP yang bertema hukum hormat bendera. Ia meminta kebijakan tersebut dihentikan agar tak menuai kontroversi dan pro-kontra di tengah masyarakat.

Hal itu ia sampaikan dalam pidato kebangsaan bertajuk '#Indonesiajalantengah, Indonesia Milik Semua' yang disiarkan di CNNIndonesia TV, Senin (30/8).

"Tes Wawasan Kebangsaan, Survei Lingkungan Belajar, lomba pidato tentang hukum menghormat bendera, dan pemikiran-pemikiran pro-kontra lainnya mesti dihindari jika ingin meletakkan Pancasila bersama tiga pilar lainnya yaitu NKRI, UUD 1945, dan kebinnekaan sebagai ideologi jalan tengah yang moderat," kata Haedar.

TWK alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) KPK menuai polemik. Banyak pegawai KPK yang dinilai berjasa besar dalam mengungkap kasus korupsi hingga menangkap koruptor dinyatakan tak memenuhi syarat dalam tes tersebut.

Sementara itu, lomba penulisan artikel bertema hormat bendera menurut agama Islam digagas BPIP. Namun, akhirnya BPIP meminta maaf dan mengganti tema lomba tersebut.

Haedar lantas menyinggung pemikiran Proklamator dan Presiden pertama RI, Sukarno tentang Pancasila dicetuskan sangat moderat. Ia menegaskan konsep Pancasila maupun Negara Republik Indonesia tak bisa ditarik 'ke kanan' dan 'ke kiri'.

Melihat hal demikian, Haedar menilai semua paham radikal-ekstrem tidaklah sejalan dengan Pancasila lantaran kelima sila tersebut memiliki watak dasar yang moderat.

"Menghadapi paham radikal-ekstrem pun tidak semestinya dengan cara yang radikal-esktrem, karena selain akan melahirkan radikal-ekstrem baru pada saat yang sama bertentangan dengan jiwa Pancasila," ujarnya.

Haedar mendorong pemerintah menempuh jalan moderat bila hendak menjalankan Pancasila, bukan sebaliknya melalui pendekatan kontra-radikal atau deradikalisasi yang ekstrem.

"Dan jauhi jalan ekstrem. Pancasila yang berkarakter tengahan dan bukan Pancasila yang diradikal-ekstremkan," katanya.

Amendemen Tak Sekadar Pragmatisme

Selain itu, Haedar meminta rencana amendemen UUD 1945 yang kini tengah bergilir di MPR tak menguatkan kepentingan pragmatisme jangka pendek. Menurutnya, kondisi itu justru dapat menambah berat kehidupan bangsa.

"Seyogyanya dipikirkan dengan hikmah kebijaksanaan yang berjiwa kenegarawanan autentik," kata Haedar.

Haedar meminta MPR bisa belajar dari amendemen UUD 1945 yang berlangsung empat kali sejak awal reformasi. Ia tak ingin amendemen menyalahi semangat reformasi 1998.

"Serta lebih krusial lagi bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan pemerintah tidak ikut campur terkait rencana amendemen UUD 1945.

"Pemerintah ini tidak ikut campur urusan itu (amendemen UUD 1945)," kata Mahfud saat webinar yang digelar Integrity Law Firm, Kamis (26/8).

Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengatakan amendemen UUD 1945 yang hendak menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) tak bisa dipisahkan dengan rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur. Rencana pemerintah itu harus dipagari dengan PPHN.

"Tanpa PPHN, siapa yang bisa menjamin presiden terpilih 2024 benar-benar akan melaksanakan dan melanjutkan rencana pemindahan IKN," kata dia, Minggu (29/8).



(rzr/fra)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK