Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan kebijakan baru yang mengekang para pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN) lebih displin dan profesional sebagai abdi negara. Peraturan Pemerintah nomor 94 Tahun 2021 yang diteken Jokowi pada 31 Agustus lalu itu mengatur serangkaian kebijakan yang memungkinkan untuk memberi sanksi bagi abdi negara yang tak disiplin.
Beberapa hal yang diatur dalam PP 94/21 seperti pemerintah dapat memberi sanksi berat bagi PNS yang bolos kerja dan tidak netral dalam pemilu. Mereka bisa diberhentikan dari jabatannya.
Selain itu, dalam PP yang sama, Jokowi mewajibkan agar jajaran anak buahnya di lingkaran pemerintahan untuk melaporkan harta kekayaannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika semula hanya pejabat, kini seluruh ASN di Indonesia wajib melapor harta kekayaan. Jika tak melapor, PNS dapat mendapat hukuman disiplin mulai dari sedang hingga berat. Hukuman itu bisa berujung pada pemecatan.
Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyoroti penerbitan beleid aturan tersebut. Ia khawatir nantinya aturan tersebut hanya bersifat normatif lantaran tak dapat diaplikasikan dalam penerapannya sehari-hari.
Menurutnya, banyak payung hukum selama ini yang berkaitan dengan kedisiplinan dari PNS. Namun demikian, permasalahan utamanya bukan pada tegas atau tidaknya aturan itu melainkan penerapan yang terkadang tebang pilih.
"Kebijakan ini tidak akan implementatif. Implementasinya akan sulit untuk menyelesaikan persoalan itu," kata Trubus saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (15/9).
Menurut Trubus salah satu faktornya adalah soal proses penilaian pegawai yang sepenuhnya kini menjadi tanggung jawab dari masing-masing pemerintah daerah. Dalam hal ini, menurutnya, peran kepala daerah akan menjadi sangat penting dalam memberikan sanksi pegawai yang tak disiplin.
Menurut dia, aturan baru yang diteken oleh Jokowi ini tak jauh berbeda dari kebijakan terdahulunya yang termaktub dalam PP 53 nomor 2010 tentang Kedisiplinan PNS. Menurutnya, sulit untuk merombak secara utuh disiplin PNS jika pemerintah pusat hanya mengeluarkan aturan serupa.
"ASN di daerah itu sangat tergantung kepada kepala daerah terpilih. Kalau kepala daerahnya itu punya political will untuk memecat, itu biasanya diproses. Tapi kan gak semua kepala daerah seperti itu," ujarnya lagi.
Apalagi, menurutnya, perilaku ASN yang tak netral biasanya sangat mempengaruhi penerapan kebijakan disiplin di masing-masing daerah. Hal itu, kata dia, seringkali luput dari pengawasan pemerintah pusat.
Menurut dia, masih banyak kepala daerah yang menggunakan pegawainya sebagai alat untuk menyampaikan nilai-nilai politiknya di tengah masyarakat. Sehingga, penguasaan seorang kepala daerah di wilayah tertentu akan menjadi cenderung lebih stabil.
"Kecuali kalau sistemnya dirubah semua, semua dari pusat. Terus akhirnya pegawai-pegawai ASN itu ditanggung oleh pemerintah pusat semua, itu bisa tersentralisasi," cetusnya.
"Karena kepegawaian di daerah itu yang mengangkat siapa, yang mengangkat (kepala) daerah kan," tambah dia.
Buka halaman selanjutnya menyoroti ketidaknetralan PNS yang terselubung dalam pemilu.