Demokrat soal Hak Angket Respons Kisruh KPK: Belum Perlu
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat, Hinca Pandjaitan menilai hak angket terkait kisruh di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum diperlukan. Hinca menilai, yang terjadi di KPK masih merupakan masalah internal.
"Belum sampai situ (hak angket). Masih internal mereka," kata Hinca di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (21/9).
Hinca menilai, masalah internal di KPK dapat diselesaikan lewat mekanisme dewan pengawas (Dewas). Ia meyakini Dewas mampu menyelesaikan sejumlah masalah yang melanda KPK dalam beberapa waktu terakhir.
Kendati demikian, kehadiran Dewas juga memicu kritik dari publik. Salah satunya keputusan Dewas mengenai sanksi yang diberikan terhadap salah satu komisioner, Lili Pintauli Siregar. Dewas memang menyatakan Lili melanggar kode etik karena memanfaatkan posisinya sebagai pimpinan KPK dan terbukti telah berhubungan langsung dengan pihak yang berperkara.
Dewas sudah menjatuhi sanksi berupa pemotongan gaji 40 persen selama 12 bulan. Namun, sejumlah pihak menilai putusan itu tidak sebanding dengan dugaan tindak pidana Lili. Terkait hal ini, menurut Hinca, Komisi III akan mempertanyakan hal itu ke KPK dan Dewas.
"Pada waktu-waktu ke depan DPR, Komisi III pada rapat dengan KPK dan Dewas kami akan tanyakan," ujarnya.
Terpisah, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat, Didik Mukrianto juga meminta gaduh di internal KPK dapat diselesaikan oleh Dewas.
Menurut Didik, Dewas memiliki kewenangan mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK hingga menjatuhkan sanksi dugaan pelanggaran kode etik. Bahkan, Dewas bisa mengevaluasi kinerja pimpinan KPK.
"Atas dasar itulah jika ada dugaan penyimpangan dan/atau ada pelanggaran baik perilaku, kode etik dan juga dalam menjalankan tugas dan kewenangannya maka pimpinan dan pegawai KPK dapat dilaporkan kepada Dewan Pengawas," ujar Didik saat dihubungi, Selasa (21/9).
Dalam beberapa waktu terakhir, internal KPK bergejolak. Mulai dari masalah pemecatan 57 pegawai KPK yang dipecat karena tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status menjadi Aparat Sipil Negara (ASN).
Keputusan pimpinan KPK memecat 57 pegawai itu menjadi sorotan publik. Bahkan tidak sedikit pihak yang mengkritik keputusan tersebut.
Sementara itu, masalah dugaan pelanggaran etik hingga pidana salah satu komisioner, Lili Pintauli Siregar juga mengemuka ke publik. Lili terbukti melanggar kode etik KPK.
Ia terbukti memanfaatkan posisinya sebagai pimpinan KPK untuk menekan Wali Kota Tanjungbalai nonaktif, M. Syahrial, guna pengurusan penyelesaian kepegawaian adik iparnya Ruri Prihatini Lubis di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kualo Tanjungbalai.
Hal itu terkait dengan pembayaran uang jasa pengabdian Ruri sejumlah Rp53.334.640,00.
Selain itu, Lili dinilai terbukti telah berhubungan langsung dengan M. Syahrial yang merupakan tersangka kasus dugaan korupsi jual beli jabatan di Pemerintah Kota Tanjungbalai. Dalam perkara ini, Dewas sudah menjatuhi sanksi berupa pemotongan gaji 40 persen selama 12 bulan. Namun, sejumlah pihak menilai putusan itu tidak sebanding dengan dugaan tindak pidana Lili.
Lihat Juga : |