Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut fenomena bayi berusia 10 bulan yang diwarnai dengan cat sablon warna abu-abu bercampur minyak goreng atau tanah seperti manusia silver selaras dengan survei yang pernah dilakukan oleh KPAI belum lama ini.
Komisioner KPAI Jasra Putra mengatakan survei itu mendapati pekerja anak pada masa pandemi Covid-19 meningkat. Survei tersebut juga mengkonfirmasi beban keluarga menjadi alasan mempekerjakan anak.
"Data pengaduan KPAI juga mencatat selama pandemi, dominasi pengaduan tentang situasi dan kondisi anak di keluarga mulai dari anak terlantar sampai dilacurkan," kata Jasra dalam keterangan resmi, Selasa (28/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Jasra, fenomena bayi manusia silver itu merupakan hal yang miris. Sebab, bayi membutuhkan dukungan dan kebutuhan khusus untuk tumbuh. Di sisi lain, pengecatan bayi dengan warna silver itu justru menimbulkan risiko tinggi.
Jasra mengungkapkan pada mulanya manusia silver digunakan untuk menggalang bantuan dana dan satu bentuk atraksi budaya. Namun, belakangan trik itu digunakan untuk mengemis.
Meski pemerintah telah menerbitkan larangan, para manusia silver itu bersiasat. Mereka turun ke jalan pada malam hari di mana petugas jarang ditemui.
"Realitanya kejahatan di jalanan paling sulit terawasi dan dihentikan," ujarnya.
Jasra mengingatkan fenomena bayi manusia silver bukan lah peristiwa tunggal. Pemerintah perlu melakukan penelusuran yang dalam kepada pihak keluarga agar dapat memberikan solusi permanen.
Sebab, kata Jasra, jika hanya memberikan bantuan dan bukan solusi sistemik, maka pelaku manusia silver itu akan kembali ke jalanan.
Jasra menegaskan pemerintah perlu menunjukkan keberpihakan yang lebih terhadap manusia silver. Sehingga, kebijakan, anggaran maupun standar operasional prosedur (SOP) bisa menjawab persoalan di lapangan.
"Karena dalam survei KPAI kepada lembaga pemerintah yang menampung mereka, masih belum tuntasnya rehabilitasi yang berakibat mereka kembali ke jalanan," tuturnya.