ANALISIS

Amarah Risma, Antara Drama, dan Solusi Permasalahan

CNN Indonesia
Selasa, 05 Okt 2021 14:32 WIB
Kebiasaan berdrama yang dimiliki Mensos Tri Rismaharini alias Risma dinilai bisa mengangkat popularitas meski tak berujung elektabilitas dan penuntasan tugas.
Mensos Tri Rismaharini kerap memarahi sejumlah pihak saat melakukan kunjungan kerja. (Foto: CNN Indonesia/Djonet Sugiarto)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kultur drama dari Menteri Sosial Tri Rismaharini alias Risma dipandang bukan solusi bagi masalah rumit di kementeriannya, terutama soal bantuan sosial (bansos), sekaligus tak mengerek elektabilitas meski menaikkan popularitasnya.

Lanjutan drama terbaru Risma antara lain kemarahannya kepada seorang pendamping bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) di Gorontalo lantaran tak terima disebut mencoret data penerima bansos dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS).

Sambil menodongkan pena ke arah pegawai tersebut, Risma berseru, "tak tembak kamu, ya!".

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Risma juga sempat menyapu kompleks makam Syekh Burhanuddin di Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, Sabtu (2/10), usai insiden pohon tumbang, di depan para pejabat daerah.

"Beliaunya (Syekh) juga marah," kata dia, terkait insiden yang memakan korban jiwa itu.

Selain itu, masih banyak rekam jejak drama Risma sebelumnya, yang didominasi oleh aksi marah-marah.

Terkait insiden di Gorontalo, Sekretaris Jenderal Kemensos Harry Hikmat mengaku Risma sudah meminta maaf soal insiden di Gorontalo. Ia juga mengaku suasana rapat sangat melelahkan karena ada banyak aspek yang dibahas.

"Iya wajar lah komunikasi seperti itu, itu namanya komunikasi publik, kan ibu sangat terbuka. Jadi miss komunikasi karena waktu Ibu [Risma] memimpin rapat itu kan sangat ketat, banyak aspek yang dibahas," tuturnya.

Risma sendiri mengakui dirinya memang terkadang galak dan suka marah-marah jika ada pekerjaan yang belum terselesaikan.

"Saya orangnya sangat detail, kadang-kadang galak, kalau ada yang kurang saya marah, tapi kalau saya marah jangan takut, setelah itu selesai, kok," kata Risma usai Sertijab di Kantor Kemensos, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (23/12/2020).

Pengamat Politik Hendri Satrio menilai cara kepemimpinan Risma tak cocok dengan kultur masyarakat Indonesia. Tujuh presiden yang sudah memimpin Indonesia pun, kata dia, tak ada satu pun yang mempopulerkan gaya kepemimpinan yang emosional.

"Kalau dicek apakah gaya marah-marah itu sesuai dengan Indonesia, dari tujuh presiden yang kita punya enggak ada yang punya gaya seperti itu. Ya artinya bisa didefinisikan sendiri," sindir Hendri.

Diketahui, seluruh Presiden di Indonesia memiliki karakter yang cenderung kalem, terlepas dari kebijakan beberapa di antaranya yang dekat dengan pelanggaran HAM. Presiden pertama RI Sukarno pun hanya meledak-ledak saat berorasi namun tetap terarah. 

Secara teoritis, lanjut Hendri, gaya kepimpinan yang masih tren di Indonesia adalah gaya walk the talk.

Infografis - Gaduh Data Bansos Anies-RismaInfografis - Gaduh Data Bansos Anies-Risma. (Foto: CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani)

Gaya kepemimpinan yang dianggap cocok dengan kultur masyarakat Indonesia ini mengharuskan pemimpin mencontohkan cara kerja yang baik dan merangkul bawahannya agar bisa mencapai tujuan bersama.

"Sementara gaya kepemimpinan Risma enggak seperti itu," ucap Hendri.

"Jadi ya kalau muncul persepsi Risma ini seperti main drama, iya kita bisa mundur ke belakang, mungkin masih ingat ketika dia tiba-tiba sujud di kaki dokter, menurut saya ini yang berlebihan gayanya seperti di drama," lanjut dia, yang juga pendiri lembaga survei KedaiKopi ini.

Dalam beberapa survei, kata Hendri, elektabilitas Risma terus menurun meski beberapa kali viral akibat marah-marah. Hal ini menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan Risma mungkin meningkatkan popularitas, namun bukan tingkat keterpilihan atau elektabilitasnya.

Dalam survei SSC pada April, nama Risma menduduki tempat kedua di bawah Prabowo, sebagai Capres favorit milenal. Sementara pada survei KedaiKOpi pada kurun waktu yang sama, nama Tri Rismaharini tak masuk dalam bursa capres 2024 berdasarkan pemilih umum.

Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Suko Widodo menilai ini terkait potensi penolakan dari warga terhadap sosok yang gemar marah-marah.

"Dalam komunikasi politik, [yang dilakukan Risma] ini kan mencari dukungan, mencari simpati," kata dia, Selasa (30/6).

"Dua kemungkinan, orang bisa simpati, bisa antipati. Yang pendukungnya akan push bela mati-matian, yang anti akan sebaliknya," lanjutnya.

Bersambung ke halaman berikutnya...

Marah di Ruang Tertutup

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER