Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo mengklaim kerja Detasemen Khusus 88/Antiteror Polri krusial meski tak selalu terlihat.
Hal ini merespons pernyataan anggota Komisi I DPR RI dari fraksi Partai Gerindra Fadli Zon yang meminta pembubaran Densus 88.
"Kalau komentarnya Fadli Zon itu saya [mengikuti], mulai dari cara kerjanya [Densus] itu enggak sembarangan," kata Hermawan, dalam diksusi bertajuk 'Densus 88, Penanganan Terorisme, dan Narasi Islamofobia', yang digelar secara virtual, Kamis (14/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hermawan lantas mencontohkan kasus penangkapan tukang bakso yang menjadi pertanyaan banyak orang karena ia hanya pedagang kecil.
Saat rumah pedagang bakso itu diperiksa, petugas menemukan berkarung-karung bahan peledak. Meski baha-bahan itu berdaya ledak rendah, lanjutnya, kerusakannya bisa mencapai satu lingkungan.
"Bom low explosive itu dari jenis misalnya bondet, bom ikan, itu kalau diledakkan ya satu RT kena," tutur Hermawan.
Selain itu, hal janggal lainnya yang ditemukan Densus 88 adalah bahwa tukang bakso itu memiliki 6 ponsel lawas dengan teknologi CDMA yang tidak bisa dibajak.
Dalam kasus semacam ini, kata Hermawan, polisi biasanya menggunakan direct finder (DF) untuk melacak keberadaan terduga teroris yang menjadi sasaran. Namun, karena alat ini mahal penggunaannya menjadi terbatas.
Densus 88 kemudian menggunakan cara konvensional, yakni dengan mengkloning ponsel yang disita dari terduga teroris. Aparat lantas melacak nomor-nomor yang menjalin kontak dengan terduga teroris itu dengan cara kerja mirip sistem star dalam penelitian.
"Kamu ngontak saya lima kali, dia dikontak dua kali dia satu kali. Berarti saya dincar, HP saya disadap lagi untuk mengikuti jejak yang lain. Proses ini paling cepat tiga bulan, polisi sudah bertindak kalau ternyata sudah membuat," jelas Hermawan.
Kasus lainnya, Hermawan mencontohkan, adalah upaya terorisme di Serpong. Para pelaku, kata dia, berupaya meledakkan jalur pipa gas Krakatau Steel yang terhubung ke Jakarta.
Namun hal ini berhasil digagalkan karena polisi sudah menyamar dan mengintai pemasangan bom itu.
![]() |
"Dilihat di bawah, itu kalau meledak seperempat Jakarta meledak karena saluran pipa gas. Itu proses [penyelidikan] seringkali bisa 6 bulan," kata Hermawan.
Menurut Herman, Densus 88 bekerja dengan akuntabel. Hanya saja, kata Herman, polisi kerap kali tidak bisa membuat penjelasan yang bisa membuat publik mempercayai tindak pencegahan terorisme.
"Kalau mau dibubarkan, maka saya sarankan bubarin aja, nanti kalau ada bom di rumahnya Fadli Zon biar tahu dia," sindir Hermawan.
Pada kesempatan yang sama, eks narapidana terorisme dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) pimpinan Aman Abdurrahman, Kamaludin, mengatakan kerja Densus 88 sesuai ajaran Islam.
Ia, yang mengaku sempat begitu membenci satuan ini, menyatakan kerja Densus 88 dalam memberantas teroris serupa dengan perintah Nabi Muhammad untuk memburu kaum Khawarij, yang membunuh sesama umat Islam dan membiarkan kemusyrikan.
"Ini meskipun mereka (anggota Desnsus) mungkin enggak ngerti niatnya untuk 'ya pokoknya ini adalah mengabdi pada negara', tapi secara syariat Islam sebenarnya apa yang dikerjakannya sudah sesuai," ujar Kamal.
"Densus adalah korps yang wajib disyukuri oleh umat Islam di Indonesia," lanjut dia, yang merupakan eks napi kasus bom Cimanggis itu.
Sebelumnya, Fadli Zon meminta Densus 88 dibubarkan karena berbau islamofobia. "Narasi semacam ini tak akan dipercaya rakyat lagi, berbau Islamofobia. Dunia sdh berubah, sebaiknya Densus 88 ini dibubarkan saja. Teroris memang harus diberantas, tapi jangan dijadikan komoditas," kicau Fadli, Rabu (6/10).
(iam/arh)