Memukul warga sampai terkapar di Deliserdang, Sumatera Utara dan membanting mahasiswa ala jurus smackdown sampai pingsan di Tangerang. Dua peristiwa itu menambah daftar panjang kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisin.
Komnas HAM mencatat, sepanjang Januari-September 2021, Polri diadukan sebagai pelanggar HAM terbanyak dengan 571 kasus. Sebanyak 78 kasus di antaranya terkait kekerasan dan penyikasaan.
Klaim #PolriTegasHumanis belakangan kian dipertanyakan. Lebih jauh, beberapa pihak, mulai dari koalisi sipil, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sampai pengamat bahkan mempertanyakan konsep 'presisi' yang digaungkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit saat Uji Kepatutan dan Kelayakan pada 20 Januari silam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada uji kepatutan dan kelayakan itu Listyo menyampaikan makalahnya dengan judul Transformasi Menuju Polri yang Presisi. Presisi yang dimaksud adalah singkatan dari Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan.
Konsep presisi ala Listyo berada dalam pusaran brutalitas kepolisian. Alih-alih bergerak menuju presisi, Peneliti Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto justru menyebut kepolisian masih jalan di tempat.
"Kalau melihat kinerja selama delapan bulan ini, presisi masih berupa jargon saja. Implementasinya masih jauh," kata Bambang kepada CNNIndonesia.com, Jumat (15/10).
"Makin jauh, tetapi memang belum bergerak ke arah presisi," tambahnya.
Bambang menilai Listyo nihil langkah soal implementasi atas konsep presisi yang diusungnya itu. Sampai saat ini, Bambang melihat Listyo bahkan belum menemukan irama yang tepat.
Sehingga, kata Bambang, tak jarang Listyo sampai ditegur oleh Presiden Joko Widodo. Salah satu teguran dilayangkan yakni imbas tindakan aparat yang dituding reaktif dengan mural berisi kritikan kepada pemerintah beberapa bulan terakhir. Lalu, pembiaran pungli preman di Pulogadung.
"Beberapa kali teguran presiden kepada Kapolri menunjukan bahwa implementasi dari visi misi itu belum ada," kata Bambang.
Listyo disebut seharusnya tak bisa menunggu teguran dulu baru bergerak.
"Apakah ini karena sindrom mantan ajudan presiden untuk selalu menunggu arahan presiden?" tutur Bambang.
Menurut Bambang, jika Listyo benar-benar dengan konsep presisinya maka harus lebih 'greget' lagi dalam menjalankan tugas. Ia juga harus memberikan edukasi dan pengawasan yang ketat terhadap semua anggota kepolisian.
Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra menilai pangkal soal keberulangan tindakan-tindakan itu akibat lemahnya penegakan hukum.
"Ada penegakan hukum yang tidak tegas, yang akhirnya tidak menimbulkan efek jera. Ini ilustrasi ya, ini sebenarnya harus diamputasi, tapi dikasih obat merah doang," kata Azmi.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana melihat akar permasalahan yang sama dengan Azmi. Ia menyebut, meskipun terdapat berbagai aturan baik terkait standar penegakan hukum dan Hak asasi manusia diinternal Polri namun kultur penegakannya lemah.
"Jadi bisa dikatakan Polri saat ini menjadi Lembaga yang memiliki kewenangan sangat besar namun minim sekali pengawasan. Karena itulah, rentan terjadi penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan oleh aparat Kepolisian," jelas dia.
Arif menyatakan, Propam Polri maupun Kompolnas tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Propam lemah di internal, sedangkan Kompolnas tidak punya struktur dan kewenangan yang memadai.
Ia berpandangan, harus ada evaluasi besar Polri. Reformasi Polri nampaknya gagal membangun polisi yang humanis, bukan polisi represif seperti zaman orba.
"Presiden dan DPR harus bicara dan evaluasi segera soal kegagalan reformasi Polri," pungkasnya.