Jakarta, CNN Indonesia --
Nama tokoh pendiri negara atau founding father Turki, Mustafa Kemal Ataturk disebut diusulkan untuk menggantikan atau menjadi salah satu nama jalan di DKI Jakarta. Hal itu merupakan buah dari diubahnya nama jalan di depan Kedutaan Besar RI (KBRI) di Ankara menjadi nama proklamator sekaligus Presiden pertama RI Sukarno.
Kedubes Turki di Jakarta mengatakan mulanya Kedutaan Besar RI (KBRI) Ankara mengusulkan untuk mengubah nama jalan di depan kedutaan RI dari Holland Street menjadi Jalan Sukarno.
"Dan permintaan (Indonesia soal penamaan jalan Soekarno) ini telah diterima otoritas Turki sebagai prinsip resiprokal, yaitu mengubah nama salah satu jalan yang berdekatan/bersebelahan dengan Kedutaan Besar Turki di Jakarta menjadi Jalan Ataturk," kata Kedubes Turki melalui surat elektronik kepada CNNIndonesia.com, Senin (18/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedubes Turki juga menjelaskan, proses pemilihan jalan di Jakarta masih berlangsung mengingat diperlukannya konsultasi lebih lanjut dengan pihak berwenang di Indonesia. Sebelumnya diberitakan bahwa kemungkinan jalan yang dipilih adalah di wilayah Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu Kedutaan Besar Turki di Jakarta diketahui beralamat di Jl. HR. Rasuna Said Kav 1, Kuningan Timur, Jakarta Selatan.
Di Indonesia, usulan nama Ataturk itu pun menjadi polemik. Pasalnya sosok yang diajukan dikenal sekuler dan dianggap sebagai tokoh kerap yang merugikan Islam.
Di satu sisi, berangkat dari polemik tersebut, CNNIndonesia.com lantas mencoba meminta tanggapan sejumlah warga terkait rencana penggantian nama jalan tersebut.
Dwi (23), salah seorang Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) asal Jawa Tengah mengaku tidak setuju dengan rencana perubahan nama salah satu ruas jalan dengan tokoh asing. Ia justru mempertanyakan dalih pemberian nama jalan yang disampaikan pemerintah sebagai bagian dari kerja sama ataupun simbol kedekatan antara Indonesia dengan Turki.
Menurut Dwi, untuk menunjukkan kedekatan antarnegara tidak harus melalui mekanisme pemberian nama jalan di masing-masing wilayah.
"Kayaknya enggak harus seperti itu deh caranya. Menurut saya untuk menunjukkan kedekatan antara Indonesia dengan Turki bisa dengan cara-cara yang lain," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (18/10),
Lebih lanjut, Dwi mengatakan, dengan pola pikir seperti itu bukan tidak mungkin ke depannya akan ada lebih banyak ruas-ruas jalan yang menggunakan nama tokoh-tokoh asing di Indonesia.
"Ya kalau setiap perjanjian kerja sama atau untuk menunjukkan kedekatan harus lewat mekanisme seperti itu mah tidak bakal berhenti di Ataturk saja. Bakal ada negara-negara lain yang meminta hal serupa," tuturnya.
Sebagai informasi, per 2019 saja, merujuk dari situs Kemenlu RI, Indonesia telah menjalin kerjasama bilateral dengan 162 negara serta satu teritori khusus yang berupa nonself governing territory. Selain itu setidaknya lebih dari 130 perwakilan Indonesia ada di luar negeri baik berupa KBRI, Konsul Jenderal RI, Perutusan Tetap RI, dan Konsulat RI.
 Dwi menilai jika nama Ataturk jadi nama jalan di Indonesia sebagai tanda kedekatan bilateral, maka akan ada lagi tokoh-tokoh dari negara lain. (CNN Indonesia/Taufik Hidayatullah) |
Penolakan lainnya juga disampaikan salah seorang pedagang buah di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Muatip (48). Menurutnya, rencana pemberian nama jalan dengan tokoh asing tidak seharusnya dilakukan pemerintah RI.
Muatip juga menilai sosok Ataturk yang digadang-gadang bakal menjadi nama jalan di ibu kota negara Indonesia tersebut kurang familiar dengan masyarakat Indonesia pada umumnya.
"Harusnya enggak perlu dilakukan ya, karena untuk apa juga gitu kan memakai nama tokoh luar negeri [sebagai nama jalan] di sini," tuturnya.
Selain itu, menurut Muatip dengan dikenalnya Ataturk sebagai yang kontroversial sebagai tokoh liberal sekuler Turki di mata rakyat Indonesia, maka tidak sepantasnya digunakan sebagai salah satu nama jalan di DKI Jakarta.
"Kalau dekat kan harusnya tahu nilai-nilai yang dijunjung masyarakat Indonesia seperti apa. Harusnya saling menghormati lah," ujarnya.
 Muatip 48 tahun, Pedagang Buah di Kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan (CNN Indonesia/Taufik Hidayatullah) |
Buka halaman selanjutnya.
Selain Muatip, Muza (24) salah seorang penjual minuman keliling di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan juga menyampaikan penolakan serupa.
Meski baru pertama kali mendengar rencana tersebut, Muza mengaku tidak setuju dengan langkah pemerintah pusat yang diamanatkan ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu. Ia juga menilai pemerintah juga tidak wajib untuk melakukan perubahan nama jalan tersebut.
Menurutnya, sosok Attaturk yang sekuler juga tidak mencerminkan nilai-nilai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi pancasila.
"Enggak setuju lah, untuk apa juga pakai nama tokoh asing seperti itu. Apalagi tokohnya sekuler gitu, kan tidak sesuai," ujarnya.
Ketimbang mengganti nama ruas jalan tersebut dengan tokoh asing, menurutnya lebih baik pemerintah memakai nama tokoh-tokoh bangsa ataupun mereka yang telah berjuang dalam proses kemerdekaan negeri ini. Untuk hal tersebut, kata dia yakin, pemerintah tidak kekurangan nama-nama tokoh yang dapat diabadikan sebagai salah satu ruas jalan di Indonesia.
"Sebaiknya nama-nama pahlawan atau tokoh kita sendiri saja. Karena masyarakat aja sekarang ini banyak gak tau asal usul pemberian nama jalan atau kisah-kisah mereka semasa hidup," imbuhnya.
 Menurut Muza masih banyak nama tokoh bangsa Indonesia baik yang memperjuangkan kemerdekaan sebelum proklamasi hingga kini yang bisa jadi nama jalan. (CNN Indonesia/Taufik Hidayatullah) |
Lain halnya dengan tiga warga sebelumnya, salah seorang pedagang asongan di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Mulyadi (38) mengaku tidak keberatan dengan rencana pemerintah tersebut.
Mulyadi menilai, tidak ada yang berubah meskipun ruas jalan tersebut menggunakan nama tokoh asing. Menurutnya, jalan tersebut tetaplah sama seperti ruas-ruas jalan lainnya yang ada di Jakarta.
"Setuju-setuju aja sih, apalagi itu kan memang perjanjian antardua negara. Emang masing-masing negara saling menggunakan tokohnya, kecuali tokoh kita tidak digunakan di sana," ujarnya.
Lebih pragmatis, ia menilai perubahan nama jalan menjadi tokoh asing maupun tokoh Indonesia itu tak akan memberikan pengaruh besar bagi rakyat kecil.
"Lagipula mau berubah atau tidak juga tidak ada pengaruhnya sama kita-kita orang. Enggak bakal buat dagangan kita langsung habis kalau jualan di sana," imbuhnya.
Kendati demikian, Mulyadi menyarankan agar pemerintah dapat memilih tokoh Turki lainnya yang akan digunakan sebagai nama ruas jalan. Hal ini menurutnya diperlukan guna meminimalisir konflik yang ada di masyarakat.
"Ya kita kan gak kepingin cuma gara-gara nama jalan aja malah bisa jadi ribut yang gede-gede di masyarakat," katanya.
 Menurut Mulyadi perubahan nama jalan baik jadi nama tokoh asing maupun tokoh Indonesia tak akan berpengaruh banyak pada rakyat kecil. (CNN Indonesia/Taufik Hidayatullah) |
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menerima kritik dari sejumlah pihak ihwal rencana tokoh Turki Mustafa Kemal Ataturk dijadikan nama jalan di ibu kota. Dia mengatakan bakal mencari solusi.
"Insyaallah pemerintah akan mencarikan solusi yang terbaik, supaya baik bagi semua termasuk hubungan kita dengan pemerintah Turki menjadi lebih baik," kata Riza di Balai Kota DKI, Senin.
Pada hari yang sama, Menko PMK Muhadjir Effendy menyebut rencana pemberian nama tokoh pembaharu Islam asal Turki, Mustafa Kemal Ataturk untuk jalan di Jakarta adalah fatsun diplomatik. Fatsun dipolmatik adalah tata krama diplomatik sebagai komitmen untuk membuktikan kedekatan kedua negara.
Hal itu sebelumnya sempat disampaikan Dubes RI untuk Ankara, Lalu M Iqbal, apalagi Turki juga telah memberi nama jalan di depan KBRI Ankara dengan nama Presiden RI pertama, Ir Soekarno.
"Sesuai dengan penjelasan Dubes RI di Ankara, pemberian nama jalan itu terkait dengan fatsun diplomatik," kata Muhadjir lewat pesan singkat kepada CNNIndonesia.com.