Konsep otorita ibu kota negara (IKN) dinilai menyalahi konstitusi dan memicu tumpang tindih kewenangan dengan daerah. Ketidakcocokan kebijakan antara Pusat dan Daerah mestinya bukan jadi alasan pelanggaran ketentuan.
Dalam draf rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) dari pemerintah, pusat pemerintahan RI di PenajamPaser Utara, Kalimantan Timur, nantinya tak dipimpin oleh gubernur yang dipilih lewat pemilu dan tak memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
IKN akan dipimpin oleh kepala otorita yang setingkat menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN nantinya bisa menjabat selama lima tahun dan dapat diangkat kembali oleh Presiden dalam masa jabatan yang sama meski bisa diberhentikan kapanpun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mempertanyakan dasar hukum pemerintahan ibu kota negara baru melalui konsep otorita itu. Menurutnya, hal tersebut tak sesuai dengan pasal 18 Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
Baginya, ibu kota baru nantinya tetap harus tetap memiliki gubernur dan DPRD yang dipilih secara demokratis. Dia menyebut pembentukan suatu daerah menjadi otorita hanya jika memiliki tujuan ekonomi khusus.
"Kita tanya ke Pak Presiden. Pak Presiden mau pakai UUD apa di IKN? Kalau dia pakai UUD 1945 sekarang, dia (IKN) harus dijadikan daerah khusus. Kalau daerah khusus tetap dipimpin oleh seorang gubernur tetap ada DPRD. Begitu perintah di UUD 1945," kata Margarito kepada CNNIndonesia.com, Selasa (19/10).
Pasal 18 UUD '45 sendiri mengatur bahwa NKRI terbagi atas daerah-daerah provinsi, kabupaten dan kota.
Tiap daerah itu harus memiliki kepala daerah dan DPRD yang dipilih secara demokratis atau lewat pemilihan umum.
![]() |
Karena itu, Margarito menduga Presiden hendak mengendalikan secara penuh pemerintahan di ibu kota baru nantinya. Bahkan, Margarito mengibaratkan IKN baru seperti cabang khusus dari pemerintahan pusat, bukan sebagai daerah otonom.
"Ini ngawur deh, ini ngaco. Pakai UU dan dikendalikan presiden. Jadi ini seperti cabang khusus dari pemerintahan pusat. Lebih tepat cabang khusus pada pemerintahan pusat. Lebih pada kantor presiden yang ditempatkan di sana," kata dia.
Melihat hal itu, Margarito meminta kepada Jokowi untuk tak terlalu berkreasi membuat peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945 dengan dalih "friksi-friksi" di DKI Jakarta.
Pemerintahan DKI Jakarta yang berstatus sebagai ibu kota negara, kata dia, saat ini masih berjalan sebagaimana mestinya. Hubungan antara pemerintah pusat dan DKI Jakarta pun, lanjutnya. masih terjalin dengan baik.
Lihat Juga : |
"Adapun kalau terjadi friksi-friksi enggak jadi masalah fundamental kok di Jakarta. Enggak mempengaruhi jalannya pemerintahan. Apakah ada kemacetan dalam jalannya pemerintahan? Kan enggak juga," kata dia.
Senada, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai demokrasi di ibu kota negara baru tetap harus berjalan meski yang menjabat merupakan lawan politik dari presiden.
"Seperti di Jakarta, misalkan gubernur berbeda pandangan dan aliran politik dengan presiden, lalu ada komunikasi enggak bagus. Tapi itu bukan solusi juga kepala otorita IKN itu lalu diberikan kepada kepala otorita," cetus dia, .
Bersambung ke halaman berikutnya...