Surabaya, CNN Indonesia --
Situasi pandemi Covid-19 di beberapa daerah di Jawa Timur diklaim membaik sebulan terakhir. Jumlah kasus kian turun, kapasitas fasilitas kesehatan tak lagi penuh, bahkan pemerintah telah melakukan asesmen di sejumlah kabupaten/kota dan hasilnya menyatakan risiko penularan Covid-19 di mayoritas daerah telah jauh berkurang.
Tak hanya di Jatim, Indonesia bahkan dianggap berhasil mengendalikan pandemi Covid-19 setelah mengalami peningkatan kasus signifikan pada gelombang kedua, di sepanjang Juni dan Juli 2021 lalu. Utamanya di daerah Jawa-Bali yang melaksanakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Pemerintah pusat hingga daerah makin sesumbar dengan klaimnya, tentang keberhasilan mengendalikan Covid-19. Pelonggaran demi pelonggaran aktivitas masyarakat dan relaksasi fasilitas publik pun dilakukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Jatim sendiri misalnya, dari total 38 kabupaten/kota, sebanyak 34 di antaranya diklaim sudah berstatus PPKM level 1 berdasarkan hasil asesmen situasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan per 13 Oktober 2021. Sedangkan empat daerah lainnnya masuk level 2.
Sementara berdasarkan Instruksi Kementerian Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 53 Tahun 2021, sebanyak lima kabupaten/kota di Provinsi Jatim telah masuk PPKM Level.
Lima daerah yang masuk level 1 PPKM itu antara lain Kota Surabaya, Kota Mojokerto, Kota Kediri, Kota Blitar, Kota Pasuruan. Jumlah ini semakin meningkat dibanding Inmendagri No. 47 Tahun 2021 hanya Kota Blitar yang masuk PPKM Level 1.
Tetapi, situasi yang diklaim kian terkendali ini kontras bila dibandingkan kondisi lonjakan Covid-19 pada Juni dan Juli 2021 lalu. Saat itu mayoritas kabupaten/kota di Jatim berstatus zona merah. Pada 27 Juli misalnya, tercatat dari 38 kabupaten/kota di Jatim, 33 di antaranya berstatus risiko tinggi. Hal itu berdasarkan peta risiko yang dirilis Satgas Penanganan Covid-19 Pusat.
Sepanjang Juni dan Juli, rumah sakit membeludak, tak sedikit pasien yang terpaksa antre ruang perawatan, mereka yang tak tertolong akhirnya berpulang. Hari-hari di dua bulan itu, penuh duka dan nestapa.
Juni dan Juli memang telah berbulan terlewat. Tapi di balik klaim-klaim keberhasilan pemerintah yang didengar hari-hari ini, tersimpan banyak hal yang belum terungkap. Salah satunya soal tanggal-tanggal di dua bulan itu, yang dilaporkan nihil kasus kematian.
Berdasarkan data yang dilansir dari laporan harian Satgas Penangan Covid-19 Jawa Timur, di Surabaya misalnya, tanggal nol kematian itu terjadi pada 1, 2, 4, 6, 7, 8, 10, 13, 15, 16, 19 serta 21 Juni. Kemudian di bulan berikutnya, juga terjadi pada 14 dan 18 Juli 2021.
Sedangkan di Kota Malang tanggal dengan nol kasus kematian itu juga ditemukan pada 7, 13, 24 Juni 2021. Sementara di bulan berikutnya lebih banyak lagi. Tanggal nol kasus kematian juga terjadi pada 1, 2, 12, 13, 17, 18, 19, 20 dan 27 Juli 2021.
Utak-atik Definisi Kematian
Koalisi Warga untuk LaporCovid-19 pun menemukan beberapa kejanggalan dalam pencatatan kematian yang dilaporkan oleh Satgas Penangan Covid-19 tersebut. Mereka menduga ada otak-atik definisi kematian di sepanjang Juni dan Juli lalu.
Inisiator LaporCovid-19, Ahmad Arif mengatakan di Kota Malang contohnya, berdasarkan data Satgas pada Senin, 19 Juli 2021 total kematian dilaporkan nihil. Padahal, pihaknya menerima laporan bahwa ada 26 jenazah yang dimakamkan dengan protokol Covid-19 saat itu.
"Data kami yang didapatkan dari teman-teman pemakaman di sana, orang yang dimakamkan dengan protokol Covid-19 itu ada 26 orang, itu tanggal 19 saja. Dimana 9 orang meninggal dalam posisi isoman," kata Ahmad, melalui kanal Youtube Lapor Covid 19, Kamis (22/7) lalu.
 Infografis Jangan Terbuai Covid Landai. (Dok. BNPB) |
LaporCovid-19 juga merilis adanya selisih jumlah kematian antara yang dirilis pemerintah dengan temuan mereka. Data 18 September 2021 misalnya, hitungan LaporCovid-19 ada 157.736 kematian di Indonesia, sedangkan data yang dirilis pemerintah pusat ada 140.323 kematian. Artinya ada 17.413 kematian yang diduga tidak dilaporkan.
Tanggal-tanggal nol kematian yang dirilis Satgas Penangan Surabaya, itu juga terbantahkan dengan sebuah dokumen yang berasal dari sumber internal Pemerintah Kota Surabaya. Contohnya pada 14 Juli 2021, dokumen itu mencatat terdapat dua kematian pasien Covid-19 di hari itu. Satu almarhum terkonfimasi positif Covid-19 melalui PCR pada 11 Juli, dan satu korban lainnya pada 14 Juli.
Kemudian pada 18 Juli 2021, terdapat tiga pasien Covid-19 meninggal dunia. Masing-masing mereka dinyatakan positif Covid-19 pada 3, 9 dan 17 Juli. Artinya hasil PCR mereka keluar sebelum pasien dinyatakan meninggal dunia. Namun kematian mereka tak ditampilkan dalam data resmi yang dirilis ke publik.
Di Malang, dokumen internal yang kami dapat mencatat ada ratusan jenazah dipulasarakan dengan tata laksana pemulasaraan Covid-19 pada Juli. Jumlahnya mencapai 699 orang, tapi data resmi yang dilaporkan Pemkot Malang kematian akibat Covid-19 pada Juli hanya berjumlah 125 kasus.
Padahal, berdasarkan dokumen itu, dari 699 jenazah yang dipulasarakan, 385 jenazah di antaranya dilaporkan telah berstatus positif Covid-19 saat meninggal. Artinya, ada 260 kasus kematian yang tak tercatat dan diabaikan oleh pemerintah setempat.
Kepala Bagian Humas Pemkot Malang sekaligus Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 setempat, Donny Sandito, mengatakan bahwa kasus meninggal yang tercatat dan dipublikasikan adalah kematian pasien yang telah terkonfirmasi positif Covid-19 saja, sebagaimana diatur dalam sistem pelaporan New All Record (NAR), sistem milik Kementerian Kesehatan.
"Jadi kematian yang dicatat di Pemkot Malang itu kan kematian yang terkonfirmasi positif dan diversifikasi oleh pusat, di NAR itu," kata dia, kepada CNNIndonesia.com, Jumat (23/7) lalu.
Sementara, kematian pasien terduga atau suspect dan probable yang belum disertai hasil pemeriksaan positif berdasarkan pemeriksaan swab PCR, tak bisa tercatat dalam laporan itu. Hal itulah, kata Donny, membuat ada selisih data kematian Covid-19 versi pemerintah dengan data Lapor Covid-19.
Di Malang, kata dia, banyak kasus warga yang meninggal, namun belum memiliki hasil positif swab PCR Covid-19. Meski begitu, mereka dimakamkan dengan protokol Covid-19.
"Jadi saat meninggal dia belum swab PCR, tapi gejalanya menurut RS mengarah ke suspect. Sehingga datanya pasti selisih, yang dimakamkan menggunakan protokol Covid-19 tidak hanya yang positif, yang dicatat di pusat itu yang meninggal positif," katanya.
[Gambas:Photo CNN]
Terpisah, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan bahwa data kematian yang dipublikasikan itu adalah kasus Covid-19 dengan disertai hasil pemeriksaan swab PCR. Hal itu sebagaimana sistem laporan kasus kematian dalam pelaporan NAR.
"Sebenarnya begini ketika ada data yang masuk dalam NAR Kemenkes, itu adalah posisi [kasus kematian] yang ditarik dari [hasil] PCR," kata Eri, Senin (26/7).
Eri mengatakan di lapangan banyak warga meninggal saat mengalami gejala Covid-19 yang berat, mereka wafat sebelum hasil PCR-nya keluar. Bahkan tak sedikit di antara mereka tidak sempat menjalani tes swab PCR.
Meski begitu, Eri mengatakan pihaknya juga menampilkan data kematian suspek dan probable atau kasus yang belum memiliki hasil swab PCR. Hal itu agar masyarakat Surabaya waspada akan bahaya Covid-19 supaya pihaknya memiliki pertimbangan untuk menentukan kebijakan selanjutnya.
"Saya harus jujur mengatakan itu semua, baik yang ada di Pemakaman Keputih maupun yang ada di pemakaman umum, tapi sudah suspek dan probable. Semakin kita melakukan testing dan tracing semakin banyak kita semakin tahu apa yang harus kita lakukan," tuturnya.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur dr Sutrisno, menilai data kasus kematian akibat Covid-19 sejumlah daerah di Jatim pada Juni-Juli lalu tak layak untuk jadi dasar pengambilan kebijakan masa pandemi. Pasalnya, banyak kematian terkait Covid-19 yang tak dilaporkan.
Sejumlah daerah di Jatim hanya melaporkan kasus kematian yang rata-rata relatif kecil per harinya. Sementara, kasus meninggal terkait Covid-19 di lapangan jauh lebih besar.
"Data yang ada jangan hanya data di meja untuk mengambil keputusan. Sehingga data yang masuk cuma 0, cuma 2, tapi coba lihat kuburan, hampir 20-30 kali lipat dari pada data yang ada di meja," kata Sutrisno.
Namun, kini pernyataan pemerintah Kota Surabaya dan Kota Malang itu terbantahkan dengan temuan tim kolaborasi sejumlah jurnalis di Surabaya, yang menyebutkan bahwa di tanggal-tanggal nol kasus kematian sepanjang Juni-Juli lalu, terdapat kematian-kematian yang sengaja dihilangkan.
Temuan ini juga menguatkan dugaan manipulasi dan otak-atik data kematian Covid-19 oleh pemerintah.
*Laporan ini adalah hasil kolaborasi beberapa jurnalis di Kota Surabaya (Miftah Faridl Koresponden CNN Indonesia TV, Reno Surya Jurnalis Project Multatuli, Farid Rahman Jurnalis CNNIndonesia.com, Ardiansyah Fajar Reporter IDN Times dan Rangga Prasetya penulis Volkpop)