Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menertibkan pengelolaan aset-aset bekas Belanda untuk menghindari potensi korupsi ataupun kerugian negara.
Hal itu disampaikan dalam rapat penertiban pengelolaan aset tanah peninggalan Belanda/objek Panitia Pelaksanaan Penguasaan Benda Tetap Milik Belanda (P3MB)/Presidium Kabinet Dwikora 1955 (PRK.5), Kamis (28/10).
"Kita pahami bersama permasalahan dalam pengelolaan aset eks Belanda yang bernilai strategis ini berpotensi hilangnya aset baik berupa tanah ataupun bangunan. Untuk itu, KPK hadir guna menutup celah terjadinya potensi korupsi ataupun kerugian negara," kata Narahubung KPK untuk wilayah DKI Jakarta, Hendra Teja, Jumat (29/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain penertiban dan penyelamatan aset, kata Hendra, pihaknya juga mendorong upaya optimalisasi pemanfaatan aset-aset tersebut untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) Provinsi DKI Jakarta, jumlah Surat Izin Perumahan (SIP) yang terbit sebanyak 1.281 bidang.
Selain penerbitan 62 SIP untuk kepemilikan P3MB dan 3 SIP untuk kepemilikan PRK.5, juga termasuk di dalamnya 564 unit rumah ber-SIP yang belum diketahui kepemilikannya.
Untuk diketahui, SIP adalah izin yang diberikan sebagai hak untuk menghuni yang berlaku selama 3 tahun dan bukan hak untuk memiliki.
"Kalau saat ini kita minta mereka meninggalkan hunian tersebut akan timbul masalah baru yaitu akan tinggal di mana mereka? Padahal, saat ini saja kita sudah sangat kewalahan menangani problematika hunian layak misalnya akibat penggusuran," kata Kepala Bidang Regulasi dan Peran Serta Masyarakat DPRKP Pemprov DKI Jakarta, Ledy Natalia.
Di samping itu, Ledy berujar biaya 'sewa' akibat penerbitan SIP sangat murah. Ia memberi contoh untuk aset rumah di kawasan Menteng sebesar Rp100 ribu per tahun.
Lihat Juga :![]() UPDATE CORONA 29 OKTOBER Positif Covid-19 Bertambah 683, Kasus Kematian 28 Orang |
Sementara, mewakili Kantor Wilayah ATR/BPN Provinsi DKI Jakarta, M. Unu Ibnudin mengatakan berdasarkan Peraturan Gubernur, tanah eks Belanda adalah tanah negara yang dikuasai Pemprov khususnya DKI Jakarta dan disewakan kepada masyarakat. Menurutnya, apabila aset-aset tersebut dimohonkan haknya maka ada pemasukan ke negara sebesar 25 persen.
Unu menilai Pemprov DKI yang selama ini memberikan izin kepada penghuni untuk menyewa dan menempati sementara tanah atau bangunan eks Belanda tersebut.
Ia mengusulkan ada sampling eksekusi penghentian SIP di wilayah Jakarta Pusat. Setelah SIP dihentikan, Pemprov DKI kemudian dapat memulai proses pemenuhan syarat pendaftaran sertifikasi aset.
"Hal ini perlu dilakukan dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap aset-aset tersebut dan pemberian pelayanan optimal kepada masyarakat DKI Jakarta. Saran saya kita mulai dengan rumah-rumah di atas tanah dengan status kepemilikan Kota Praja yang belum dicatat sebagai aset milik Pemprov DKI Jakarta," ujar Unu.
Pendapat senada disampaikan oleh perwakilan Bidang Hukum TGUPP Provinsi DKI Jakarta, Rahma, yang menyampaikan bahwa terkait SIP ada dasar hukum lain yaitu UU Nasionalisasi yang telah digunakan terhadap aset lain.
"Contohnya Bank Indonesia yang sudah dikuasai legal formal oleh Pemerintah Indonesia," tutur Rahma.
KPK pun memberikan sejumlah rekomendasi. Pertama, menyepakati perpanjangan SIP untuk nama yang sama, namun mendorong moratorium pemberian SIP kepada ahli waris penghuni rumah eks Belanda.
Kedua, KPK mendorong Kementerian ATR/BPN dan Pemprov DKI untuk membentuk tim gabungan dan melakukan rekonsiliasi data dan koordinasi dalam hal pelayanan pertanahan atas tanah eks Belanda tersebut.
Rekomendasi berikutnya perihal mekanisme evaluasi terkait pemanfaatan aset bagi penerimaan daerah dan regulasi yang perlu disusun sebagai dasar hukum.
"Terakhir, perlu identifikasi terhadap tanah eks Belanda yang berdasarkan ketentuan adalah milik atau dapat dimiliki oleh Pemprov DKI atau negara agar dapat segera dilakukan pengamanan fisik dan proses pensertifikatan," kata Hendra.
(ryn/fra)