Cek Ombak di Tiga Kebijakan Pandemi, PCR hingga Karantina

CNN Indonesia
Rabu, 03 Nov 2021 09:01 WIB
Ilustrasi penumpang pesawat kala pandemi. (Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah dinilai memakai pola cek ombak dan inkonsisten soal pengambilan sejumlah kebijakan pandemi, termasuk syarat tes Covid-19 bagi penumpang moda transportasi udara dan harga tes polymerase chain reaction (PCR).

Kebijakan-kebijakan yang berubah itu antara lain, pertama, soal syarat wajib PCR bagi penumpang pesawat. Tercatat, pemerintah sudah tiga kali mengubah syarat jenis pemeriksaannya. Pada akhir 2020, syaratnya hanya rapid test antigen.

Kemudian, sebulan lalu, syaratnya menjadi hanya wajib tes PCR, kebijakan itu sempat menuai gelombang protes dan petisi.

Terkini, pemerintah menghapus kewajiban tes PCR sebagai satu-satunya syarat calon penumpang pesawat. Warga kini bisa juga bisa memilih menggunakan tes antigen sebagai alternatif selama sudah mendapat vaksinasi lengkap.

Kedua, Pemerintah juga dinilai plin-plan lantaran baru menurunkan batasan tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR setelah mendapat protes dari warga.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) teranyar telah menetapkan tarif tertinggi tes RT PCR pada harga Rp275 ribu untuk daerah di Jawa-Bali, dan Rp300 untuk daerah luar Jawa-Bali.

Penurunan tarif tertinggi itu terhitung merupakan perubahan tarif ketiga. Batasan tarif tersebut berlaku untuk masyarakat yang melakukan tes PCR atas permintaan sendiri.

Ketiga, pemerintah terkini juga memangkas masa karantina bagi pelaku perjalanan internasional menjadi 3 x 24 jam. Namun Satgas Penanganan Covid-19 menyebut, aturan itu hanya berlaku bagi pelaku perjalanan yang sudah mendapatkan vaksin Covid-19 dua dosis. Sementara pelaku yang baru menerima satu dosis vaksin tetap melakukan karantina 5 x 24 jam.

Di saat yang sama, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah menghadiri serangkaian acara internasional, yakni Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, di Roma, Italia, pada akhir Oktober.

Jokowi terpantau juga melanjutkan dinas luar negerinya ke Glasgow, Skotlandia, untuk menghadiri KTT Perubahan Iklim PBB, COP26.

Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah lantas menilai utak-atik kebijakan PCR cermin pemerintah baru bergerak jika kebijakannya mendapat kritik dari masyarakat.

"Ini inkonsisten ya karena kerap berubah. Pemerintah lebih menekankan 'testing the water'. Lihat reaksi publik dulu. Ketika publik [kritik] keras, ya diubah," kata Trubus.

Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menilai pemerintah tak menjadikan sains sebagai rujukan utama dalam kebijakan PCR ini.

"Kalau misalnya ini PCR terus dipaksakan, namanya tidak menjadikan sains sebagai rujukan strategi kesehatan masyarakatnya," kata dia, Selasa (2/11).

Dicky menilai pemerintah seharusnya bisa mengambil kebijakan yang tepat dengan mempertimbangkan hasil kajian panel pakar (panel expert) terkait pandemi.

Senada, Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR RI Achmad Baidowi atau yang biasa disapa Awiek ini juga menyayangkan sikap pemerintah yang berubah-ubah itu. Menurut Awiek, hal itu justru akan membingungkan masyarakat.

"PPP menyayangkan sikap pemerintah yang berubah-ubah dalam membuat syarat perjalanan menggunakan pesawat udara sehingga membingungkan masyarakat. Apalagi syarat PCR memberatkan dari aspek harga," kata Awiek.

Menurut dia, aturan maupun kebijakan itu bisa mengacu pada level PPKM di setiap daerah. Awiek pun menegaskan, jangan sampai kebijakan yang berubah-ubah ini menimbulkan kesan negatif.

"Jangan sampai ada kesan pemerintah lebih membela kepentingan pelaku bisnis kesehatan dalam hal ini PCR," kata dia.

(khr/arh)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK