Jakarta, CNN Indonesia --
Warga Kelurahan Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan tetap bertahan di rumahnya meski banjir melanda kawasan itu selama puluhan tahun. Sebagian dari mereka tak kaget lagi, sementara lainnya tetap ketakutan.
Warga RT 7 RW 8, Dedi (59) sudah lebih dari 30 tahun hidup di bantaran Sungai Ciliwung. Ia mengaku tidak merasa kaget tiap kali banjir datang.
"Sudah enggak kaget lagi, biasa aja," kata Dedi saat ditemui di warung kelontong di rumahnya, Selasa (9/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rumah Dedi hanya berjarak beberapa puluh meter dari Jembatan Gantung Pasar minggu. Dari atas jembatan, bisa terlihat bahwa rumah Dedi berada di dataran yang lebih rendah, menjorok ke bawah dari Jalan Jembatan Gantung.
Dedi menyadari tempat tinggalnya merupakan daerah yang rawan bencana. Meski demikian, ia memilih tetap tinggal karena merasa sudah betah.
"Sudah betah di sini sih. Walaupun bagaimana, kalau masih panjang umur mah tetap di sini," ujar Dedi.
Sebagai orang yang sudah puluhan tahun terkena banjir, Dedi paham kapan banjir akan datang. Biasanya, Sungai Ciliwung akan meluap ketika turun hujan.
Bahkan kadang, kata dia, Sungai Ciliwung meluap meski Pejaten Timur tidak diguyur hujan. Banjir itu merupakan air kiriman dari kawasan Bogor dan Depok.
"Kalau mau musim banjir mah (asalkan) ada hujan aja. Hujan terus kiriman dari Bogor," ujar perantau asal Tasikmalaya itu.
Meski demikian, Dedi berharap bisa pindah jika memang disediakan tempat tinggal yang layak dan aman dari bencana.
Hanya saja, menurut Dedi, mencari tempat seperti itu sulit.
"Ya, kalau ada tempatnya sih mau. Soalnya susah cari tempatnya," tutur Dedi.
Berbeda dengan Dedi, salah satu warga Rt 7, RW 8 lainnya, Wesiah (40) mengaku tetap merasa ketakutan ketika banjir datang meski sudah tinggal di daerah rawan itu selama 30 tahun.
Saat melihat air meluap dan menenggelamkan daratan di tepi Ciliwung, Wesiah kerap membayangkan tsunami maupun banjir bandang yang ada di televisi.
"Ya, takut lah. Banjirnya kayak gitu, airnya pada tinggi, tetap takut," kata Wesiah.
Wesiah pernah tidak sempat menyelamatkan barang-barang di rumahnya saat menyadari genangan air sudah tinggi. Ia bergegas menyelamatkan anak dan cucunya yang masih kecil.
"Pada kabur lah air sudah sampai ke sini sudah tinggi jadi aku kabur, jadi kelelep itu semua enggak ditolongin. Enggak sempat itu (menyelamatkan barang-barang) soalnya takut kejebak," katanya.
Wesiah mengaku sebenarnya ia ingin pindah ke tempat yang lebih tinggi dan aman dari banjir. Namun, ia tidak memiliki cukup uang karena biaya sewa rumah di tempat yang tinggi itu lebih mahal.
Sementara, penghasilan suaminya sebagai tukang ojek hanya cukup memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
"Mau pindah ke atas yang enggak banjir enggak bisa itu, mau bayarnya enggak bisa," ujar Wesiah.
Sementara, warga RT 5, RW 8, Pejaten Timur, Sumarni (58) yang rumahnya bersebelahan dengan sungai mengaku pasrah dengan banjir. Sumarni yang sudah tinggal di sana sejak 30 tahun lalu tidak begitu memusingkan bencana rutin itu.
Meski demikian, Sumarni bukannya tidak berhati-hati. Ia termasuk orang yang mengedepankan mitigasi bencana.
Jika banjir datang, ia akan meninggalkan rumah terlepas banjir itu kecil atau besar. Kata Sumarni, mitigasi itu merupakan pesan almarhum suaminya yang pernah terjebak di rumah saat banjir.
"Kata bapaknya, saya pesan kalau banjir mau gede mau kecil keluar, yang lain bisa beli yang penting kita selamat. Kalau mati mah Allah yang tahu," ujarnya.
Buang Barang-Barang
Seperti di banyak tempat lainnya, banjir yang berulang kali melanda Pejaten Timur juga membawa lumpur dan merusak barang-barang rumah tangga.
Sebagai pemilik warung kelontong, Dedi mengaku kerap merugi karena beberapa barang yang ia jual rusak terkena banjir. Karenanya, jika banjir datang, selain keselamatan keluarganya, yang ia pikirkan adalah bagaimana menyelamatkan barang-barang di warung.
"Kalau dulu-dulu mah, enggak buru-buru beresin ada yang kerendam lah," kata Dedi.
[Gambas:Photo CNN]
Sementara, gara-gara dilanda banjir, Wesiah kerap membuang beberapa alat-alat rumah tangganya, seperti TV, kasur, dan baju.
Banjir kiriman pada Minggu (7/11) lalu misalnya, Wesiah membuang salah satu kasurnya karena terkena lumpur dan rusak berat. Ia meminta bantuan Petugas Prasarana dan Saran Umum (PPSU) untuk membuang kasur yang kini teronggok di atas tanah berlumpur.
"Tiga kali rusak TV-nya. Kalau kasurnya rusak semua, dibuang. Sudah itu (terkena) tanah itu semuanya jadi rusak berat. Jadi minta tolong ke yang tukang pembersih itu dibuang," ujarnya.
Tidak berbeda, Sumarni juga membuang barang-barang elektroniknya. Rumah Sumarni yang bersebelahan langsung dengan Sungai Ciliwung pada Minggu malam lalu terkena banjir hingga setinggi dua meter.
Saat ini, di dalam rumah Sumarni tak tampak terdapat alat-alat elektronik kecuali satu buah kulkas yang diletakkan di tempat lebih tinggi.
"Saya sudah enggak ada apa-apa. Bodo amat dah. TV saya buang, kulkas saya buang," kata Sumarni saat ditemui di teras rumahnya.
Sebelumnya, banjir kiriman setinggi 2 meter merendam beberapa RW di Kelurahan Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Lurah Pejaten Timur, Mohamad Rasyid mengatakan beberapa RW yang terdampak antara lain, RW 5, 6, 7, dan 8 dengan jumlah penduduk terdampak sekitar 500 orang.
"Itu sekitar 500-an warga dari empat RW itu," kata Rasyid sebagaimana dikutip dari Antara, Senin (8/11).
Berdasarkan catatan Badan Penanggulangan Daerah (BPBD) DKI Jakarta, hingga Senin (8/11) pukul 09.00 WIB sebanyak 67 RT masih terendam banjir.
Lokasi 67 RT itu tersebar di sejumlah kecamatan di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan.