Jakarta, CNN Indonesia --
Komisi III DPR RI resmi menyetujui pembentukan panitia kerja (Panja) revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (RUU Kejaksaan).
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif yang mewakili Presiden Jokowi saat rapat di Komisi III DPR RI memandang bahwa salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam penguatan Kejaksaan adalah mengenai keadilan restoratif atau restorative justice.
Penguatan ini dilakukan melalui Revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Menurut pria yang akrab disapa Eddy menyebut saat ini telah terjadi perubahan paradigma hukum pidana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Salah satu aspek penguatan yang diperlukan oleh Kejaksaan RI adalah berkaitan dengan keadilan restoratif. Saat ini telah terjadi perubahan paradigma hukum pidana," kata Edward dalam rapat dengan Komisi III DPR RI di Senayan, Jakarta Pusat, Senin (15/11).
Menurut Edward, sebelumnya paradigma hukum pidana bertujuan pada keadilan retributif yang menyasar penghukuman terhadap pelaku atas kejahatan yang mereka lakukan.
Saat ini, paradigma hukum telah bergeser menjadi restoratif yang bertujuan pada keadilan rehabilitatif.
"Keadilan restoratif yang menekankan kepada pemulihan kembali kepada keadaan semula," ujar Edward.
Sejauh ini, kata Edward, paradigma restorative ini juga telah dimuat dalam beberapa ketentuan perundang-undangan. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak.
UU tersebut mengatur bahwa kejaksaan memiliki peran untuk mengedepankan dan berpedoman pada keadilan restoratif dalam penegakan hukum yang dia lakukan.
"Sehingga, penyelesaian sengketa alternatif seperti mediasi penal menjadi salah satu wewenang yang harus dimiliki oleh Kejaksaan," ujar Edward.
Edward menyebut hukum dengan paradigma keadilan restoratif ini merupakan wujud dari tindakan yang ditetapkan pejabat pemerintah untuk mengatasi persoalan yang dihadapi.
Lebih lanjut, Edward menyebut bahwa pedoman yang diterbitkan International Association of Prosecutors (IAP) bersama dengan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menjadi inti Revisi UU Kejaksaan.
Pedoman itu menjadi semacam garis yang diikuti dalam mengatur kembali aturan mengenai independensi jaksa dalam penuntutan mereka, akuntabilitas penanganan perkara, standar profesionalitas, dan perlindungan terhadap jaksa dan keluarga mereka.
"Sebelumnya belum diatur dalam UU Nomor Nomor 16 Tahun 2004," jelas Edward.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Sebanyak 14 poin resmi diusulkan Komisi III DPR RI dalam RUU Kejaksaan. Poin pertama adalah standar perlindungan terhadap Jaksa dan keluarganya yang disesuaikan dengan standar perlindungan profesi yang diatur dalam United Nation Guidelines on the Rule of Prosecutor dan International Association of Prosecutor (IAP).
"Mengingat Indonesia telah bergabung menjadi anggota IAP sejak tahun 2006," kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Pangeran Khairul Saleh.
Kedua adalah penyempurnaan mengenai aturan intelijen penegakan hukum berdasarkan undang-undang mengenai intelijen negara. Poin ketiga adalah penyempurnaan mengenai kewenangan Jaksa dalam mengawasi barang cetakan dan multimedia. Perkembangan teknologi menjadi pertimbangan usulan DPR RI untuk memperbaiki kewenangan ini.
Sebelumnya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 6-13-20/PUU/VIII/2010 menyatakan kejaksaan mengamankan barang cetakan melalui proses peradilan.
"Mengingat perkembangan teknologi, maka termasuk di dalamnya (barang diamankan) melaksanakan pengawasan multimedia," kata Pangeran.
Poin keempat, DPR mengusulkan agar pengaturan mengenai fungsi Advocate General bagi Jaksa Agung. Pangeran menyebut dalam fungsinya Jaksa Agung bisa bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara di bidang perdata, tata usaha negara, ketatanegaraan di semua lingkungan peradilan dan Mahkamah Konstitusi.
Kelima, DPR mengusulkan adanya penyempurnaan mengenai kewenangan jaksa dalam melakukan mediasi penal dalam kerangka sistem peradilan pidana. Keenam DPR mengusulkan penyempurnaan aturan mengenai kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyadapan yang dilakukan dalam penegakan hukum.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Poin ketujuh, DPR mengusulkan agar aturan mengenai kewenangan kejaksaan untuk mengkoordinasikan, mengendalikan, melakukan penyelidikan dan penyidikan, serta penuntutan tindak pidana yang dilakukan bersama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan militer juga disempurnakan.
Sementara, pada poin kedelapan, DPR mengusulkan agar aturan mengenai kewenangan kejaksaan menggunakan denda damai disempurnakan. Hal ini berlaku pada tindak pidana ekonomi.
DPR juga mengusulkan penyempurnaan mengenai penundaan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) khusus agar pelaksanaan tugas dan wewenang menjadi lancar. Pada poin kesepuluh, DPR mengusulkan agar penyelenggaraan kesehatan yustisial kejaksaan guna mendukung tugas dan fungsi kejaksaan disempurnakan.
Pada poin ke sebelas, pengaturan soal sumber daya manusia kejaksaan juga disempurnakan. DPR juga menyarankan agar pengaturan kewenangan kerjasama kejaksaan dengan penegak hukum dari negara lain maupun organisasi internasional disempurnakan.
Hal ini mengingat karena kejaksaan merupakan Local Point pada lembaga internasional seperti mengingat kedudukan kejaksaan sebagai Focal Point pada lembaga International Association of Anti Corruption Authorities (IAACA), International Association of Prosecutor (IAP), dan forum jaksa agung China-ASEAN.
Sementara, pada poin ketigabelas, DPR juga mengusulkan agar aturan mengenai pemberian pertimbangan dan keterangan sebagai bahan informasi dan verifikasi soal ada atau tidaknya pelanggaran hukum disempurnakan.
"(baik)yang sedang atau telah diproses dalam perkara pidana untuk menduduki jabatan publik maupun memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan," ujar Pangeran.
Terakhir, DPR mengusulkan agar peran kejaksaan dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan negara dalam keadaan mendesak seperti, bahaya, darurat sipil, militer, dan perang ditegaskan.