Setelah masuk Prolegnas Prioritas 2021, RUU PKS dibahas di parlemen. Dalam perjalanannya, DPR mencoret kata 'Penghapusan' dari nama RUU PKS.
Anggota Tim Ahli Baleg DPR, Sabari Barus menilai kata 'penghapusan' memberi kesan abstrak dan mustahil tercapai di dunia.
"Kata penghapusan terkesan abstrak dan mutlak, karena penghapusan berarti hilang sama sekali, ini yang mustahil tercapai di dunia. Kami menggunakan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual," kata Sabari dalam rapat Baleg DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sabari lantas mengusulkan agar RUU PKS diganti menjadi RUU Tindak Pidana kekerasan Seksual (TPKS). Menurutnya, dengan mengganti nama RUU itu, aparat nantinya lebih mudah menegakkan aturan.
Rupanya, tidak hanya nama yang berubah. Koalisi Masyarakat Sipil Antikekerasan Seksual (KOMPAKS) menemukan sebanyak 85 Pasal RUU PKS hilang setelah DPR mengganti judulnya menjadi RUU TPKS.
Pasal yang pada draf RUU PKS per September berjumlah 128 butir hanya tersisa 43 pasal pada draf RUU TPKS per 30 Agustus 2021.
Dalam RUU TPKS, DPR hanya menetapkan empat bentuk kekerasan seksual yakni, pelecehan seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual.
Sebelumnya, draf RUU PKS menetapkan sembilan bentuk kekerasan seksual yaitu, pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Perwakilan KOMPAKS, Naila mengatakan terdapat lima substansi RUU PKS yang hilang saat draf itu beralih nama menjadi RUU TPKS.
Pertama, jaminan hak, pemulihan, dan perlindungan korban yang dalam RUU TPKS hanya diatur di Pasal 1 angka 12.
Kedua, ketentuan tindak pidana perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.
Ketiga, penghalusan definisi perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual.
Keempat, kekosongan aturan kekerasan seksual berbasis online. Padahal, jenis kekerasan ini kerap terjadi seiring perkembangan digital.
Kelima, kekosongan aturan penanganan korban kekerasan seksual yang menyandang disabilitas.
"Tidak ada pengaturan lebih lanjut terkait pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Hal ini dapat menghilangkan jaminan pemenuhan hak korban selama proses peradilan pidana," protes Naila.
Anggota Tim Ahli Baleg DPR, Sabari Barus berdalih penghapusan lima jenis kekerasan seksual dalam RUU TPKS karena sudah diatur dalam KUHP dan RKUHP.
Menurutnya, dari 9 jenis kekerasan itu hanya terdapat empat substansi.
"Jadi substansinya hanya empat. Jika dalam RUU yang lama ada sembilan jenis, setelah kami menyisir dengan melihatnya dalam KUHP dan RKUHP kami telah menyortir sehingga menjadi empat," kata Sabari dalam rapat Baleg DPR, Senin (30/8).
"Ini yang tidak ada irisannya atau tidak diatur dalam KUHP atau RKUHP jadi tinggal empat jenis," tambahnya.
Kini, setelah hampir sepuluh tahun aturan terkait kekerasan seksual itu digagas dan diperjuangkan, DPR belum juga mengesahkannya. Sementara kasus-kasus kekerasan seksual tak kunjung reda. Belakangan, Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan komitmennya untuk segera mengesahkan RUU TPKS.
(iam/pmg)