Jeda Kemanusiaan, Jalan Damai Atasi Bara Papua

CNN Indonesia
Rabu, 01 Des 2021 09:20 WIB
Penyelesaian konflik di Papua dengan pendekatan militer dinilai hanya memperkeruh suasana dan tidak menyentuh akar persoalan.
Front Rakyat Indonesia untuk West Papua dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa, 15 Agustus 2017. (CNNIndonesia/Safir Makki)

Direktur Imparsial Gufron Mabruri juga mengatakan, penanganan konflik di Papua memerlukan pendekatan yang lebih kolaboratif dan holistik, agar persoalan yang terjadi dapat segera diselesaikan.

Gufron menilai masih maraknya kasus kekerasan di Papua membuktikan bahwa pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk menangani konflik tersebut belum tepat.

Ia memandang, permasalahan di Papua harus dilihat secara lintas sektoral, tidak hanya dari paradigma militer semata. Terdapat masalah politik lain, seperti ketidakadilan sosial, ketidakadilan lingkungan, kekerasan dan pelanggaran HAM, serta marginalisasi dan diskriminasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi tidak bisa kita menyelesaikan persoalan di Papua kalau melihatnya masih parsial dan menggunakan pendekatan ala militeristik," ujarnya terpisah.

Gufron sepakat, kedua belah pihak yang bertikai saat ini harus menahan diri dan melakukan jeda kemanusiaan agar tidak ada lagi warga sipil yang menjadi korban konflik bersenjata.

"Jeda kemanusiaan sangat perlu dilakukan kedua pihak menghentikan tembak menembak, agar masyarakat sipil tidak terus menjadi korban. Juga untuk membuka opsi-opsi penyelesaian konflik lain," jelasnya.

Dorong Upaya Dialog

Pendapat senada juga disampaikan oleh Tokoh Papua sekaligus Ketua Sinode Gereja Kingmi, pendeta Benny Giay. Menurutnya, jalan kekerasan atau pendekatan militeristik di Papua hanya akan melanggengkan resistensi baru setiap harinya.

Dengan tambahan korban-korban baru, maka lingkaran kekerasan dapat dipastikan akan diwariskan dari generasi ke generasi. Akibatnya terbentuk memori kolektif akan kekerasan dan menjauhkan dari upaya-upaya dialog.

"Misalnya, ketika ada warga sipil yang menjadi sasaran salah tembak aparat Polri-TNI pasti keluarga korban akan marah dan terkadang membalasnya. Ini yang membuat kelompok TPNPB berkembang terus," jelasnya ketika dikonfirmasi, Sabtu (27/11).

Benny mencatat, masuk pertengahan November 2021, pemerintah justru kian gencar melakukan politik rasisme, kriminalisasi, marjinalisasi, dan militerisme dalam penanganan konflik Papua. Konflik bersenjata antara TNI-Polri dengan TPNPB pun semakin memanas di enam kabupaten.

Imbasnya, sekitar 60 ribu penduduk Papua tercatat harus mengungsi ke hutan atau kabupaten tetangga akibat konflik bersenjata yang terjadi selama bertahun-tahun. Tidak jarang anak-anak dan perempuan menjadi korban meninggal dunia ketika mengungsi.

Di sisi lain, Benny menilai, sudah saatnya juga bagi pemerintah untuk menghentikan kebijakan rasisme yang dilakukan secara sistemik. Benny memandang, konflik yang terjadi hari ini di Papua tidak lepas dari bagian politik rasisme sistemik.

Ia menduga ada kelompok buzzer yang memang secara sengaja dimainkan oleh intelijen Indonesia dan kelompok pendukung pemerintah. Mereka ini terus difungsikan untuk menyebarkan hoaks maupun berita dengan muatan opini yang bertentangan mengenai Papua.

"Sudah saatnya ini dihentikan, dan lakukan dialog sebagaimana yang dijanjikan. Dilakukan dengan mediasi dari pihak ketiga seperti di Aceh dahulu," ujarnya.

Untuk melakukan upaya dialog tersebut, Adriana menilai, pemerintah perlu menggandeng pihak ketiga sebagai mediator seperti perundingan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kendati demikian, ia mengatakan pihak ketiga tersebut tidak mesti dari luar negeri.

Menurutnya, pihak-pihak di dalam negeri juga bisa dilibatkan dalam upaya dialog tersebut. Dengan catatan, harus disetujui dari kedua belah pihak.

"Kalau pemerintah sulit dan merasa tidak mau melibatkan pihak luar negeri ya dari dalam negeri saja. Caranya seperti apa, bisa meniru pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta dalam kasus penembakan Intan Jaya," jelasnya.

Adriana menyampaikan, jika dialog yang dilakukan masih belum menemukan kesepakatan bersama, maka upaya tersebut harus terus dilanjutkan hingga menemukan titik temu bagi kedua belah pihak. Bahkan hingga puluhan tahun jika masih belum memungkinkan.

"Kalau tahun ini (dialog) belum selesai, dilanjutkan tahun depan. Belum membuahkan hasil juga, ya lanjutkan saja terus, dengan catatan tidak boleh ada pertumpahan darah," ujarnya.

Lewat dialog juga, ia mengatakan tidak akan ada lagi pertumpahan darah baik dari warga sipil, aparat TNI-Polri, dan juga OPM.

"Perdamaian itu selalu lahir dari negosiasi, perundingan damai, komunikasi. Tidak bisa itu dimunculkan dari hasil konflik bersenjata," katanya.

(tfq/pmg)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER