Jakarta, CNN Indonesia --
Sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) yang punya rekam jejak kasus kekerasan dinilai dimanfaatkan para elite untuk menuai dukungan. Posisi mereka pun tetap kuat meski punya riwayat bentrokan yang disebut kerap terjadi di ranah akar rumput.
Dua ormas yang kerap terekam media dalam kasus bentrokan horizontal adalah Pemuda Pancasila dan Forum Betawi Rempung (FBR).
Kedua kelompok sudah berseteru sejak lama di berbagai daerah. Terakhir, keduanya bentrok di Pasar Lembang, Ciledug, Kota Tangerang, pada Jumat (19/11). Hal itu diduga bermula dari konvoi salah satu ormas yang tengah merayakan ulang tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cekcok antara kedua belah pihak lantas terjadi. Insiden itu berujung pada bentrokan fisik.
Kasus lainnya adalah pengeroyokan yang dilakukan oleh anggota Pemuda Pancasila terhadap Kepala Bagian Operasional Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya AKBP Dermawan Karosekali di tengah aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Kamis (25/11).
Tak hanya terlibat pengeroyokan, sejumlah anggota PP juga kedapatan membawa senjata tajam dalam demonstrasi yang berakhir rusuh tersebut. Sebanyak 15 anggota PP dijerat sebagai tersangka UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin menilai keberadaan ormas-ormas tersebut dilindungi kalangan elite yang punya kepentingan suara atau basis massa.
"Di Republik ini, ormas-ormas seperti mereka itu hampir semua ormas itu di-maintain, dijaga. Ibaratnya ditarik-ulur. Karena ini, pejabat juga punya kepentingan terhadap eksistensi mereka," kata dia, Rabu (1/12).
"Tadi menjaga akar rumput, basis massa juga perlu. Kedua juga, terkait tadi awal. Back-up politik, kalau misalkan elite-elite itu diancam oleh pihak yang lain kan. Pihak-pihak ormas juga yang bisa mem-backup, membentengi gitu lho," lanjut dia.
Ormas-ormas tersebut, jelasnya, memiliki akar struktural yang kokoh, basis massa yang kuat, serta melibatkan pejabat-pejabat pemerintahan dalam kepengurusannya.
"Daya tawar organisasi-organisasi itu juga yang besar. Makanya para pejabat itu ikut menjadi anggota di ormas-ormas," jelas dia.
Menurut Ujang, keberadaan para elite dalam kepengurusan itu memicu kondisi psikologis tertentu di kalangan anggotanya.
"Faktanya seperti itu, psikologis dan sosiologisnya seperti itu dan tidak bisa terhindarkan. Ormas-ormas yang mempunyai backup para pejabat tinggi ya, itu pasti memiliki kekuatan," jelas Ujang.
Kepentingan dan keberadaan para elite di organisasi semacam ini lah yang membuat mereka tetap bertahan. "Itu yang menjadi pemerintah sulit untuk bisa mengevaluasi, begitu," kata dia.
Sebagai catatan, beberapa pejabat negara yang menduduki jabatan strategis di Majelis Pimpinan Nasional (MPN) Pemuda Pancasila. Di antaranya, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum I Organisasi masa bakti 2019-2024.
Kemudian, Menteri Pemuda dan Olahraga Zainuddin Amali, yang merupakan Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Pemuda Pancasila; Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo, sebagai anggota MPO Pemuda Pancasila.
Selain itu, ada nama Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria yang tercatat sebagai anggota MPO Pemuda Pancasila.
Bersambung ke halaman berikutnya...
[Gambas:Video CNN]
Penulis buku 'Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru' Ian Douglas Wilson memaparkan bahwa perseteruan antar-ormas tersebut sebenarnya hanya terjadi di tingkat akar rumput. Sedangkan, secara organisasional, tidak terdapat konflik yang memanas.
Termasuk dalam kasus PP vs FBR. Ian menyebut perselisihan keduanya hanya konflik di kelompok-kelompok lokal dan dengan persoalan lokal.
"Pada tingkat grassroot, ada konflik yang terus berulang antara kelompok-kelompok lokal yang terafiliasi dengan kedua ormas tersebut. Tapi pada tingkat nasional atau kepemimpinan, kesannya tidak ada perseteruan, enggak ada konflik sebenarnya," ujar dia, yang juga Dosen Politik di Murdoch University Perth itu, kepada CNNIndonesia.com, Rabu (1/12).
"Saya tidak mau membesarkan ada konflik yang besar, karena tidak ada. Ini ada yang terus berulang di cabang-cabang tertentu," sambung Ian.
Ian mengistilahkan ormas ini sebagai franchise atau waralaba karena tersebar dengan ciri khas yang sama. Artinya, sekelompok orang di wilayah tertentu menggabungkan diri dengan ormas agar memiliki identitas hingga dapat memperkuat posisi dan daya tawar mereka.
"Jadi karena saya rasa ini PP dan FBR punya cabang di Jakarta pun banyak sekali, tapi yang menjadi titik konflik cuma beberapa. Jadi itu harus dipahami dalam konteks apa itu konflik lokal, gimana orang-orang terafiliasi dengan kedua ormas [itu]," jelasnya.
Ian juga meyakini terdapat memori konflik organisasional yang dimiliki kedua ormas tersebut hingga memicu sentimen pada satu sama lain.
"Kalau kamu jagoan dan ada organisasi lain yang menghina, yang dianggap meremehkan dan sebagainya, jadi itu kadang menjadi siklus lokal, ada rasa [ingin] balas dendam," tambahnya.
 Komnas HAM menyimpulkan peristiwa penembakan laskar FPI pada 7 Desember 2020 sebagai pelanggaran HAM. (Foto: CNN Indonesia/Timothy Loen) |
"Tapi di tingkat kepemimpinan, mereka enggak ada yang menganjurkan [berselisih]. Malah mereka ingin cepat selesai, cepat damai, karena ini tidak ada yang menguntungkan bagi kedua organisasi sama sekali, [malah] bikin ribut," papar Ian.
Pembubaran Ormas
Terpisah, Ahli Hukum Pidana Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar mengatakan pemerintah tak boleh mengabaikan kebijakan-kebijakan dari ormas terkait yang dapat menyulut perilaku agresif anggota. Misalnya, perintah tertentu dari pimpinan ormas untuk melakukan penyerangan terhadap kelompok lain.
"Apakah perbuatan tersebut semata-mata dilakukan oleh anggota ormasnya?" cetus dia, saat dihubungi.
"Kalau nanti terbukti bahwa keributan atau persoalan itu diakibatkan oleh kebijakan ormas tersebut, maka tidak mustahil misalkan terhadap ormas tersebut juga bisa diperiksa dan bisa diproses untuk diambil tindakan," ucapnya.
Berkaca dari kasus pelarangan Front Pembela Islam (FPI), Fickar mengatakan bahwa pemerintah dapat mengambil langkah ekstrem untuk membubarkan ormas tersebut apabila memang menyimpang dari aturan dan konstitusi.
"Pada kasus FPI, pemerintah bertindak sangat otoriter. Tetapi, pembubaran FPI bisa jadi preseden," kata Fickar.
Sementara itu, Anggota MPO Pemuda Pancasila Tjahjo Kumolo mempersilakan kepolisian untuk memproses hukum anggotanya yang sempat mengeroyok AKBP Dermawan Karosekali.
"Ya, silakan diproses secara hukum saja," ujar dia, yang juga mantan Sekjen PDIP itu.