ANALISIS

Risma dan Ironi Kebijakan Difabel: Paksa Bicara, Kurang Literasi

CNN Indonesia
Sabtu, 04 Des 2021 06:32 WIB
Literasi atau pengetahuan pembuat kebijakan soal kaum difabel dipertanyakan terkait kasus Mensos Risma memaksa tunarungu bicara.
Ilustrasi penyandang disabilitas. (Foto: SGENET/Pixabay)

Selain masalah kurangnya pengetahuan warga lain terkait difabel, Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Gufroni Sakaril meminta pembenahan setidaknya dua masalah. Pertama, minimnya akses menuju pendidikan, dunia kerja, dan kegiatan sehari-hari.

"Kami butuh advokasi, ada pelatihan, kalau bisa ada sertifikasi, agar penyandang disabilitas bisa bekerja dan produktif," kata dia.

Menurut data Gufroni, tak banyak penyandang disabilitas bisa bekerja di instansi pemerintah atau swasta. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pemerintah daerah, pemerintah pusat, BUMN, dan BUMD wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara, instansi atau perusahaan swasta diwajibkan mempekerjakan paling sedikit 1 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

"Ini bahkan hanya 0,0 persen sekian yang bisa masuk ke instansi pemerintah, di swasta lebih rendah lagi," cetus Gufroni.

Kedua, Gufroni berharap pemerintah memiliki sistem pendataan kependudukan bagi penyandang disabilitas. Hal ini dinilai bisa membantu difabel mendapatkan bantuan aksesibilitas dari pemerintah dan memberi kemudahan saling berbagi di antara penyandang disabilitas.

"Sebenarnya kami agak miris mengenai data, yang kami tahu data Sensusnas [difabel] ada 34 juta, tapi kami enggak tahu itu orangnya siapa, disabilitasnya apa, dan jenjang pendidikannya apa," ucap dia.

"Makanya kami butuh Kemensos, Dinsos, Dukcapil, BPS, itu bekerja sama untuk mendata jenis disabilitas, alamat, nama, agar kebijakan lebih tepat sasaran. Itu saja harapan kami," sambungnya.

Senada, Trubus mendorong Risma memberi akses yang lebih mudah bagi penyandang disabilitas, misalnya, dalam hal pendidikan tinggi, sertifikasi, hingga lapangan pekerjaan.

Hal itu, kata dia, bisa dilakukan Risma lewat kolaborasi dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), hingga Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker).

"Risma yang inisiasi lintas kementerian untuk membangun aksesibilitas penyandang disabilitas. Ini masalah political will, masalah kemauan, mungkin sudah ada kemauan ke sana, hanya saja implementasinya dari Kemensos masih kurang," tutur Trubus.

(mln/arh)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER