Jakarta, CNN Indonesia --
Sudirman, korban selamat serangan bom di Kedubes Australia, Jakarta pada 2004 silam berjuang menjalani hidup dengan luka yang tak berkesudahan.
Tangannya nyaris hancur, mata kirinya buta dan diganti dengan bola mata palsu. Ia pun masih harus meminum obat karena gangguan syaraf di kepala hingga saat ini. Sudirman hadir dalam forum diskusi yang digelar Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Hotel Sari Pacific, Jakarta Pusat.
"Jujur kalau saya mendengarkan cerita korban atau bercerita kembali masa-masa dulu luar biasa berat buat saya," kata Sudirman parau, Kamis (9/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sudirman merantau dari Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) ke Jakarta pada awal 2002. Ia bermimpi bisa memperbaiki nasib orang tua dengan bekerja di Ibu Kota.
Tanpa keahlian khusus, Sudirman akhirnya bekerja menjadi Satpam di kawasan Serang. Pada suatu waktu ia mendaftar di perusahaan outsourcing. Sudirman kemudian ditempatkan di Kedubes Australia, Kuningan, Jakarta Selatan.
Hari itu, Kamis 9 September 2004, Sudirman sedang berjaga beberapa meter dari gerbang utama Kedubes Australia. Tiba-tiba sebuah bom meledak. Tubuhnya terlempar dan spontan mengucapkan takbir tiga kali. Ia merasa hari itu akhir perjalanan hidupnya.
"Saya terjatuh, saya melihat sekujur badan saya penuh darah, kedua tangan semuanya sudah hancur, patah dan di kepala darah mencucur dan di kaki, semua badan, baju robek semua dan detik itu membuat saya merasa mungkin ini akhir dari perjalanan hidup saya," kata Sudirman dengan bergetar.
Sudirman mengatakan tangannya saat itu nyaris putus dan diamputasi. Namun, dokter RS Medistra berusaha melakukan yang terbaik. Ia menjalani terapi setiap hari hingga akhirnya pulih, meskipun tak lagi seperti sedia kala.
 Foto: CNN Indonesia/Fajrian Infografis Bertahan dari luka Terorisme |
Sudirman kembali bekerja sebagai satpam di Kedubes Australia dan tak merasa trauma. Pada satu waktu ia tiba-tiba terjatuh dan pingsan. Dokter menyebut terdapat gangguan syaraf di kepalanya. Sudirman diminta meminum obat.
"Sampai hari ini saya masih minum obat syaraf itu, saya tidak tahu kapan harus berhenti mengkonsumsi obat ini," ujarnya.
Derita akibat ledakan bom itu belum selesai. Pada suatu hari, mata kirinya yang dulu mengalami pendarahan setelah bom meledak terjadi pembengkakan. Dokter lantas menemukan serpihan tertinggal di mata kirinya.
"Operasi Mata Kiri Sudirman" berlanjut ke halaman berikut...
Bola mata kiri Sudirman diangkat pada 2010. Dokter menyatakan tidak memiliki pilihan. Jika terus dipertahankan, kata Sudirman, kerusakan itu akan menjalar ke mata kanannya.
"Alhamdulillah saya kini menggunakan satu mata, mata kiri saya mata palsu," katanya.
Meski demikian, Sudirman tetap menjalani hidup dengan bersyukur. Ia tetap melanjutkan hidup meskipun tangannya nyaris putus, tinggal memiliki satu mata, hingga syaraf di kepalanya terganggu. Sudirman pun berhasil lulus sebagai sarjana Pendidikan Bahasa Inggris.
Ledakan bom milik jaringan Jemaah Islamiyah (JI) di depan Kedubes Australia itu menewaskan 11 orang dan 160 orang luka-luka.
Bertemu Mantan Perakit Bom JI
Suatu hari, AIDA mengajak Sudirman bertemu mantan instruktur perakit bom dari jaringan JI, Ali Fauzi di Klaten pada 2013. Ali juga merupakan adik teroris bom Bali, Amrozi dan Ali Imron.
Saat itu, AIDA tidak hanya membawa Sudirman. Mereka juga mempertemukan korban Bom Bali dan Bom Hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton dengan alumni kamp teroris di Moro Islamic Liberation Front (MILF), Filipina itu.
"Ketika kami bertemu dengan Pak Ali Fauzi saya dan teman-teman yang lain dari Bali, dari Marriot kami begitu marah, kami begitu benci. Kenapa kami diperlakukan seperti ini? Apa dosa kami? Itu pertanyaan kami yang waktu itu, kami tidak siap untuk bertemu, kami tidak siap untuk berdiskusi," kata Sudirman tampak emosional.
Namun, dalam pendampingan AIDA, Sudirman dan penyintas serangan bom di Indonesia berbincang dengan Ali dan bertukar cerita. Mereka kemudian saling memaafkan dan beker jasama mencegah aksi-aksi terorisme.
"Satu harapan kami korban kami tidak ingin lagi ada korban-korban selanjutnya ke depan, kami tidak ingin lagi anak-anak kami saudara-saudara kami menjadi korban-korban lagi," ujarnya.
AIDA kemudian menggandeng beberapa penyintas Bom Bali, Kedubes Australia, dan Kampung Melayu untuk menjadi duta perdamaian. Mereka membantu sosialisasi mengenai bahaya terorisme di banyak tempat, termasuk sekolah.
Selama ini Sudirman hanya bisa memendam peristiwa naas yang ia alami dan selalu menangis setiap mencoba menceritakan kejadian itu. Namun, ia dan penyintas serangan bom lainnya memberanikan diri dan mengkampanyekan perdamaian.
"Kalau kami pendam cerita kami kami merasa tersiksa itu yang saya alami. Dulu saya nggak berani ngomong, saya speechless, saya kalau ngomong itu nangis. Sampai hari ini masih beban itu ada," kata Sudirman.