Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah khawatir proyek ibu kota baru ini macet di tengah jalan. Menurutnya, presiden selanjutnya belum tentu memiliki visi sama dengan Presiden Joko Widodo.
Ia mengatakan pemerintah tak bisa main-main dalam mega proyek tersebut. Setidaknya, kata Trubus, butuh waktu lima tahun dengan perencanaan saat ini untuk melaksanakan proyek tersebut.
"Kekhawatiran ya mangkrak, karena ini masalahnya Presiden Jokowi tinggal 3 tahun, nanti kalau presiden selanjutnya tidak punya visi sama, bisa saja istilahnya ditinggalkan, potensi ke sana," kata Trubus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sisi legislatif, DPR yang saat ini mayoritas diisi partai koalisi pemerintah sudah pasti akan memperjuangan proyek ambisius Jokowi itu. Mereka bakal berusaha RUU IKN selesai segera mungkin. DPR sudah membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN, yang mulanya memicu kontroversi, karena keanggotaan Pansus berjumlah 56 orang.
Jumlah tersebut melebihi dari jumlah yang ditetapkan dalam Pasal 104 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang menyatakan anggota Pansus maksimal 30 orang. Pimpinan DPR pun mengubah keanggotaan Pansus menjadi 30 orang, termasuk empat di antaranya sebagai pimpinan.
Sejak dibentuk awal bulan sampai 15 Desember 2021, Pansus sudah rapat bersama pemerintah sebanyak tiga kali, yakni pada tanggal 9, 10, dan 15 Desember 2021.
Lihat Juga : |
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengatakan proyek ibu kota baru bakal menggusur masyarakat asli di Penajam Paser Utara, seperti Suku Balik. Konflik lahan berpotensi mencuat dalam proyek tersebut.
Dahulu Suku Balik sudah hidup makmur dengan sumber makanan berlimpah. Kemudian, mereka menghadapi hantaman pertama pada tahun 60-an ketika perusahaan kayu masuk ke Kalimantan Timur. Sejak itu, hidup warga Suku Balik mulai susah dan sebagian warga akhirnya memutuskan pindah.
Walhi juga menyebut pemerintah tidak mempertimbangkan dampak perpindahan manusia dalam jumlah yang besar ke lokasi baru. Mulai dari tekanan pada lingkungan hingga kesenjangan ekonomi antara pendatang atau pegawai pemerintah dengan warga setempat.
Masalah lingkungan hidup juga menjadi sorotan Walhi. Menurut Walhi, lingkungan di Kalimantan Timur sudah rusak oleh industri tambang dan perkebunan sawit. Kerusakan ini, kata Walhi, akan ditambah dengan replikasi tekanan beban lingkungan ibu kota seperti yang sudah dialami Jakarta.
"Alih-alih memulihkan Jakarta, pemerintah justru akan menciptakan kerusakan serupa di tempat baru," demikian mengutip Laporan Walhi.
Salah satu alasan Jokowi memindahkan ibu kota ke Kaltim karena Jakarta kerap dikepung banjir saat musim hujan datang. Namun Penajam Paser Utara, salah satu daerah yang masuk kawasan ibu kota baru, kerap dilanda banjir.
Seperti yang terjadi pada Jumat 17 Desember lalu. Sebanyak tiga desa di Kecamatan Sepaku terendam banjir karena intensitas hujan tinggi, disertai pasang air laut.
"Karakteristik bencana banjir di Kecamatan Sepaku ini adalah banjir yang tidak lama atau dengan kata lain banjir akan segera surut, tinggi muka air akan segera turun bersamaan dengan turunnya air laut," Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, Senin (20/12).
Lihat Juga :![]() ANALISIS Tak Ada Hati DPR Sahkan RUU TPKS |
Konsep pemerintahan ibu kota baru akan berbeda. Dalam draf disebutkan bahwa Otorita IKN merupakan lembaga pemerintahan setingkat kementerian yang akan dibentuk untuk melaksanakan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara serta penyelenggaraan pemerintahan khusus IKN.
Pemerintahan khusus IKN dipimpin oleh kepala otorita IKN dan dibantu oleh seorang wakil kepala otorita IKN yang ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan langsung oleh presiden.
Pakar hukum tata negara Margarito Kamis mempertanyakan dasar hukum pemerintahan ibu kota melalui konsep otorita itu. Menurutnya, konsep itu tak sesuai dengan Pasal 18 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Menurut Margarito, ibu kota baru nantinya harus tetap memiliki gubernur dan DPRD yang dipilih secara demokratis. Dia menyebut pembentukan suatu daerah menjadi otorita hanya jika memiliki tujuan ekonomi khusus.
"Kita tanya ke Pak Presiden, Pak Presiden mau pakai UUD apa di IKN? Kalau dia pakai UUD 1945 sekarang, dia (IKN) harus dijadikan daerah khusus. Kalau daerah khusus harus tetap dipimpin oleh seorang gubernur, tetap ada DPRD. Begitu perintah di UUD 1945," kata Margarito.
Belakangan, pemerintah dan DPR sepakat mengubah status ibu kota dalam RUU IKN menjadi pemerintahan daerah khusus Ibu Kota Negara. Frasa tersebut mengubah nama ibu kota negara dalam RUU IKN, yang sebelumnya bernama pemerintahan khusus ibu kota negara.
Perubahan dalam RUU itu karena pada draf sebelumnya, frasa pemerintahan khusus Ibu Kota Negara bertentangan dengan pasal 18 UUD NRI 1945. Merujuk bunyi pasal itu, UUD tak mengakui bentuk pemerintahan lain seperti disebutkan dalam RUU IKN sebelumnya, yakni Pemerintah Khusus Ibu Kota Negara.
Selain menyepakati frasa pemerintahan daerah khusus IKN, DPR dan pemerintah juga sepakat mengubah konsep kelembagaan otorita IKN: dari semula bisa menjalankan fungsi pemerintahan, menjadi hanya fungsi persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara.
(dmr/fra)