Putusan MK ini pun ditafsirkan berbeda oleh sejumlah pihak. Presiden Jokowi bersikeras bahwa dengan putusan MK, UU Cipta Kerja tetap berlaku. Menurut Jokowi, dalam putusan MK, tidak ada satupun pasal di UU Cipta Kerja yang dibatalkan oleh MK.
"Dengan dinyatakan masih berlakunya UU Cipta Kerja oleh MK, maka seluruh materi dan substansi dalam UU Cipta Kerja dan aturan sepenuhnya tetap berlaku tanpa ada satu pasal pun yang dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh MK," ujar Jokowi kala itu.
Di sisi lain, serikat buruh menyatakan pemerintah seharusnya membuat UU Cipta Kerja dari awal pasca putusan MK. Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, pembentukan aturan tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat atau tidak tunduk dengan aturan pembentukan undang-undang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"UU (UU Nomor 15 Tahun 2019) adalah UU delegasi dari Pasal 22A UUD 1945. Pasal itu berisi aturan tentang membentuk UU," kata Said beberapa waktu lalu.
DPR kemudian turut menyikapi putusan MK tersebut. Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan bahwa perbaikan UU Cipta Kerja perlu dilakukan dengan cepat dan tidak boleh melebihi batas waktu yang diputuskan oleh MK, agar undang-undang tersebut tidak menjadi inkonstitusional secara permanen.
Pada Rapat Paripurna Selasa, 7 Desember, DPR akhirnya menyertakan UU Cipta Kerja masuk ke dalam Prolegnas Prioritas bersama 39 rancangan undang-undang lainnya.
Namun demikian, sebelum memperbaiki UU Cipta Kerja, DPR berencana merevisi Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Subagyo mengatakan, pihaknya bersama tenaga ahli mulai menyusun naskah akademik, termasuk rancangan UU tersebut bisa segera diperbaiki.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan, putusan MK beberapa waktu lalu baru masuk tahap memeriksa apakah proses pembentukan aturan itu sesuai konstitusi atau tidak, belum masuk kepada substansi.
"Karena ini yang diperiksa awal itu baru proses pembentukannya, MK menemukan ada proses pembentukan yang cacat, disuruh ulang untuk itu," kata Saldi dalam sebuah kuliah umum di Universitas Sebelas Maret (UNS) yang ditayangkan dalam kanal Youtube Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat, 3 Desember lalu.
Menurut Saldi, terdapat empat aspek cacat formal dalam UU Cipta Kerja. Pertama, aturan itu tidak dibentuk berdasarkan UU PPP. Kedua, tidak memenuhi asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketiga tidak melibatkan partisipasi publik yang luas, dan terakhir ada norma yang telah ditetapkan bersama oleh DPR dan pemerintah mengalami perubahan.
Oleh karena itu, Saldi menyebut pemerintah dan DPR harus melibatkan partisipasi masyarakat dalam menyusun kembali UU Cipta Kerja.
"Ada yang berfikir ini memperbaiki UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan saja. Enggak. Itu salah satunya. Yang lainnya apa? Perbaiki juga UU itu dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Bagaimana itu? Kami tak mau menentukannya," jelas Saldi.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa putusan uji formil UU Cipta Kerja itu harus menjadi pelajaran bagi pemerintah dan DPR. Jimly menyebut, kedua lembaga itu tidak boleh lagi sembarangan membuat sebuah undang-undang.
Menurut Jimly, putusan MK terkait UU Cipta Kerja tersebut sekaligus menegaskan bahwa uji formil terhadap suatu undang-undang jauh lebih strategis. Oleh sebab itu, ia berharap putusan MK dapat menjadi referensi bagi pemerintah dan DPR dalam menyusun undang-undang.
"Jadi tidak boleh lagi DPR dan pemerintah sembarangan membuat undang-undang. Itu enggak bisa lagi, karena mekanisme kontrol konstitusional melalui peradilan uji formil ini," kata Jimly beberapa waktu lalu.
(dmi/fra)