ANALISIS

Peleburan Eijkman ke BRIN, Birokratisasi Ancam Masa Depan Riset

CNN Indonesia
Senin, 03 Jan 2022 10:12 WIB
BRIN dinilai mestinya hanya berperan jadi lembaga pendana riset. Lembaga ini mengelola dan mendistribusikan anggaran negara terkait riset ke berbagai instansi.
Lembaga Eijkman. (Arsip 20Detik)
Jakarta, CNN Indonesia --

Peleburan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan bagian riset Kapal Baruna Jaya ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menuai kritik publik. Sejumlah ahli menilai langkah itu sebagai bentuk ketidakjelasan visi pemerintahan Presiden Joko Widodo membangun bidang riset dan ilmu pengetahuan.

LBM Eijkman saat ini berada di bawah BRIN dengan nama baru Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman. Eijkman menyusul sejumlah lembaga penelitian independen yang lebih dulu dilebur ke dalam BRIN: LIPI, LAPAN, BATAN, dan BPPT. 120 orang saintis dan staf Eijkman diberhentikan. BRIN hanya menerima sekitar 40 orang staf Eijkman yang berstatus PNS.

BRIN mulanya ditujukan untuk memayungi semua lembaga penelitian di kementerian/lembaga. Presiden Joko Widodo berulang kali menyebut kebijakan itu demi efisiensi anggaran.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, hal itu membuat anggaran lebih besar dan efisien. Terkait Riset Kapal Baruna Jaya, sejumlah periset honorer di Kapal Baruna Jaya juga diberhentikan. Alasannya, Kapal Baruna Jaya merupakan bagian dari BPPT yang akan diintegrasikan dengan BRIN.

Dewan Penasehat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Herlambang Wiratraman menyebut ada masalah dalam visi pemerintahan Jokowi dalam membangun riset. Herlambang menilai pemerintah berfokus pada penyeragaman dan birokratisasi lembaga penelitian. Padahal, hal itu justru akan membunuh pengembangan ilmu pengetahuan.

"Negeri ini krisis leadership, bukan arti memimpin birokrasi, tapi dalam soal visi keilmuan, pengembangan pengetahuan yang lebih maju bagi upaya mengembangkan bangsa ini bahkan peradaban manusia," kata Herlambang saat dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (2/1).

Herlambang mengatakan birokratisasi ilmu pengetahuan pernah terjadi di Indonesia pada masa lalu. Hal itu terekam dalam buku Andrew Goss berjudul The Floracrats: State-Sponsored Science and the Failure of the Enlightenment in Indonesia. Dalam buku itu, Andrew menceritakan bagaimana birokrasi membuat para ahli flora di Indonesia gagal berkembang. Padahal, Indonesia menjadi negara sasaran penelitian ilmuwan dunia. Namun, Indonesia tidak bisa memunculkan ilmuwannya sendiri.

"Fenomena itu mengulang dari situasi yang terjadi di masa lampau bahwa ilmuwan yang sudah maju, kelas dunia, bersaing dengan dunia internasional, tiba-tiba bisa hilang hanya karena pendekatan birokrasi," ucap Herlambang, Senin (3/1).

Ketua Akademisi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Satryo Soemantri Brodjonegoro juga berpendapat senada. Dia melihat peleburan lembaga riset ke dalam BRIN merupakan wujud kaburnya visi pemerintah dalam bidang ilmu pengetahuan.

Satryo menyebut akhir dari pendirian BRIN adalah kemunduran bagi ilmu pengetahuan Indonesia. Menurutnya, lembaga itu hanya akan menambah masalah, terutama soal akuntabilitas pengembangan ilmu pengetahuan.

"Menurut saya, pemerintah belum punya visi yang betul mengenai riset dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang mereka bayangkan kegiatan yang sifatnya proyek," kata Satryo saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Minggu (2/1).

Satryo berpendapat seharusnya BRIN hanya berperan sebagai lembaga pendana riset. Lembaga ini mengelola dan mendistribusikan anggaran negara terkait riset ke berbagai instansi. Di saat yang sama, lembaga-lembaga penelitian seperti LIPI, LBM Eijkman, BPPT tetap beroperasi secara independen. Mereka diberi ruang seluas-luasnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

"Semua lembaga yang sudah dilebur itu, dikembalikan seperti semula sesuai tupoksi masing-masing," ujar Satryo.

Tidak Perlu Jadi PNS

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER