Ahli menyebut Ipda Mohammad Yusmin Ohorella, pengemudi mobil yang dipakai dalam penembakan laskar FPI, hanya turut membantu, bukan turut serta dalam tindak pidana itu.
Dosen hukum pidana Universitas Trisakti Dian Adriawan, yang dihadirkan sebagai ahli dalam sidang unlawful killing, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (11/1), menilai tak tepat penerapan pasal terhadap Yusmin.
Diketahui, Yusmin didakwa Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. "Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan," demikian bunyi pasal itu;
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dian menilai Ipda Mohammad Yusmin Ohorella yang tengah membawa mobil saat kejadian tidak terlibat secara langsung. Artinya, Yusmin hanya bisa dikatakan pihak yang membantu.
"Pembantuannya bukan dari sisi penyertaannya, karena apa? Karena posisi pembantuan ini yaitu orang yang melakukan pembantuan di saat kejahatan dilakukan atau sebelum kejahatan dilakukan," paparnya.
Dalam dakwaan, penuntut umum memakai Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP tentang orang yang turut serta melakukan perbuatan pidana, dimana bisa dipidana sebagai pelaku tindak pidana.
Dian pun lebih condong Yusmin hanya turut membantu kejahatan.
"Jadi itu yang saya lihat karena, kalau dari sisi penyertaannya Pasal 55 saya saya tidak melihat, saya melihat hanya ada pembantuannya. Dan pembantuan itu saya bisa klasifikasi pembantuan pada saat kejahatan dilakukan pada pasal 56 angka 1," tambahnya.
Pasal 56 ayat (1) menyatakan dipidana sebagai pembantu kejahatan mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
Dalam kasus ini, dua anggota polisi menjadi terdakwa, yakni Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin Ohorella. Sementara, polisi lainnya yang sempat jadi tersangka, Ipda Elwira Priyadi Z, meninggal karena kecelakaan.
Dalam sidang itu, Dia juga mengungkapkan penembakan terhadap empat laskar FPI merupakan tindakan disengaja sesuai dengan dakwaan primer yang diajukan JPU yaitu Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal 338 KUHP berbunyi "Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama- lamanya lima belas tahun."
"Itu dikaitkan dengan Pasal 338 itu masuk [kasus penembakan], bisa sengaja sebagai tujuan, atau sengaja dengan kesadaran akan kemungkinan itu dua hal terkait kesengajaan untuk Pasal 338," kata Dian saat berikan keterangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (11/1).
Terlebih menurutnya, kejadian penembakan tersebut bisa dikenakan Pasal 338 KUHP, karena dalam kasus ini bisa dikategorikan sebagai bentuk kesalahan yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan (kelalaian) atas sebuah prosedur.
Dian menjabarkan bahwa terdapat tiga kategori kesengajaan dalam hukum pidana. Pertama, sengaja sebagai tujuan, kedua sengaja dengan kesadaran akan kepastian, serta ketiga sengaja dengan kesadaran akan kemungkinan.
Sehingga, menurutnya para terdakwa masuk dalam kategori sengaja dengan kesadaran akan kepastian.
"[Para terdakwa] sengaja, pelaku [Fikri] sejak awal menghendaki dan mengetahui adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana," katanya.
![]() |
Berbeda dengan Dian, ahli pidana lain yang dihadirkan dalam sidang, Dosen Universitas Pancasila Agus Surono menilai tindakan penembakan itu masuk dalam kategori pembelaan.
Ia menilai tindakan terdakwa dan Ipda Elwira Priadi (almarhum) bukan suatu tindakan yang bukan disengaja.
"Saya pastikan bahwa meninggalnya korban ini tidak dikehendaki seperti dimaksud dalam pasal 338. Satu frase yang dipastikan adalah sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena itu saya berpendapat ini masuk ke Pasal 49 ayat 1," kata Agus dalam sidang.
Agus sempat dicecar oleh JPU dengan fakta kematian terakhir laskar FPI yakni Reza. Menurut jaksa, ketika hanya tersisa Reza di dalam mobil sedangkan terdakwa masih memegang senjata api, sudah tidak terdapat unsur ancaman.
Dengan demikian, menurut jaksa, para terdakwa semestinya tidak perlu melakukan pembelaan diri hingga menghilangkan nyawa.
"Saya konsisten dengan pendapat saya unsur Pasal 49 ayat 1, bahwa unsur kesengajaan tidak terpenuhi," responsnya.
Agus juga menilai para terdakwa memenuhi empat unsur dalam melakukan pembelaan diri. Yakni, tengah terancam kehormatan, kesusilaan atau harta bendanya, ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat.
Kemudian, pembelaan terpaksa yang melampaui batas, serta termasuk serangan atau ancaman tindak dipidana.
"Untuk itu dapat dikualifikasi unsur Pasal 49 Ayat 1, empat unsur itu harus terpenuhi. Maka saya membuat pendapat ini memenuhi kualifikasi Pasal 49 ayat 1," tuturnya.
(cfd/arh)