Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2022-2027 diisi kader sejumlah partai politik (parpol). Akomodasi yang diterapkan PBNU di bawah kepemimpinan Yahya Cholil Staquf ini dikhawatirkan membuat NU terperosok lebih dalam ke ranah politik praktis.
Beberapa kader parpol yang masuk kepengurusan PBNU periode 2022-2027 antara lain politikus PDIP Mardani Maming sebagai Bendahara Umum PBNU, politikus PDIP Nasyirul Falah Amru sebagai salah satu Ketua tanfidziyah PBNU, serta politikus Partai Golkar Nusron Wahid yang menjabat salah satu Ketua PBNU.
Kemudian Wakil Gubernur Jawa Tengah yang juga kader PPP, Taj Yasin Maimoen, jadi salah satu anggota A'wanPBNU. Kader PPP lainnya yang masuk jajaran PBNU saat ini adalah Mustofa Aqil Siradj.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terdapat pula politikus PKB, Dipo Nusantara Pua Upadi jajaran Bendahara PBNU, kemudian Ketua Dewan Syuro PKB Dimyati Roisdi jajaran Mustasyar PBNU.
Gus Yahya saat pengumuman kepengurusan PBNU menyebut akomodasi terhadap sejumlah partai dilakukan agar ada saling kontrol antara NU dan partai politik.
"Supaya dalam kepengurusan nanti bisa saling kontrol untuk saling jaga agar jarak NU dari berbagai pihak politik tetap sama satu sama lain," kata Yahya di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu (12/1).
Akomodasi terhadap partai politik dalam skala luas juga membuat NU tak lagi punya keistimewaan dengan partai politik tertentu. Dalam konteks ini Gus Yahya pernah menyatakan menolak NU menjadi alat politik satu partai, yakni PKB.
Dia tak menampik ada hubungan NU dan PKB. Hubungan yang dia sebut tumbuh secara alami lantaran PKB diinisiasi, dideklarasikan oleh pengurus-pengurus PBNU.
"Tapi, sekali lagi tidak boleh lalu NU ini jadi alat dari PKB atau dikooptasi dengan PKB," kata Yahya dalam program Newsroom CNN Indonesia TV, Rabu (29/12).
Pernyataan Gus Yahya ini diragukan bisa melepaskan NU dari cengkeraman partai politik. Sebaliknya, justru berpotensi membawa NU ke era keterlibatan dalam politik praktis yang lebih dalam.
"Penempatan nama-nama seperti bendahara umum, [hingga] sekretaris jenderal, saya pikir itu agak kontradiktif dengan narasi besar yang disampaikan Gus Yahya tentang kembali ke spirit khittah 1926 atau menarik garis tegas politik praktis dengan PBNU," kata Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic), Khoirul Umam, kepada CNNIndonesia.com, Kamis (13/1).
"Ini berpotensi membawa PBNU ke era politik praktis yang lebih dalam," sambungnya.
Ketika kader partai politik merasuk ke tubuh PBNU, perannya akan sulit dibedakan lagi, apakah sebagai jamiah atau kader parpol. Atas hal itu, Khoirul menyebut kemungkinan PBNU menjadi alat politik semakin terbuka.