ANALISIS

Lonjakan BOR DKI, Cermin Respons Telat dan Kebijakan Inkonsisten

CNN Indonesia
Jumat, 21 Jan 2022 08:26 WIB
Peningkatan BOR di DKI merupakan cermin keterlambatan respons sekaligus cerminan sikap memandang remeh kasus Omicron.
RS Darurat Covid-19 Wisma Atlet sempat di-lockdown akibat temuan kasus Omicron, beberapa waktu lalu. (Foto: CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Lonjakan keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR) di rumah sakit Covid-19 di Jakarta dinilai sebagai hasil keterlambatan respons penanganan Covid-19 secara nasional. Pengetatan mobilitas pun didorong sambil menambah kapasitas tes.

Diketahui, BOR di DKI melonjak hingga 34 persen per 17 Januari. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat 3.312 tempat tidur telah terpakai dari total 9.784.

Kendati angka tersebut masih dalam kategori aman menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sejumlah ahli mewanti-wanti pemerintah agar bergerak lebih gesit dan lihai dalam mengantisipasi kemungkinan gelombang ketiga, terutama di DKI Jakarta. Sebagai informasi WHO memiliki ambang batas aman BOR di atas 60 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau RS mengalami lonjakan itu sudah telat, berarti banyak penularan di masyarakat, saya kira memang perlu pengetatan," kata Epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (20/1).

Masalahnya, kata dia, kapasitas tes dan telusur masih kurang, terutama dengan metode S-Gene Target Failure SGTF yang bisa mengenali Virus Corona varian Omicron.

Selain itu, pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di DKI Jakarta terbentur tuntutan ekonomi, .

"Makanya ini dilematis, kalau diketatkan PPKM, tapi testing-tracing-nya sama saja ya buat apa kan jadi sama saja seperti level 1-2 pelacakannya," ucap Dicky.

Menurut data corona.jakarta.go.id yang diakses 20 Januari, total kasus Covid-19 varian Omicron yang ditemukan di Jakarta sebanyak 988 kasus, 663 kasus berasal dari PPLN dan 325 transmisi lokal.

Sesuai ketentuan WHO, pelacakan kontak erat mestinya dilakukan kepada minimal 10 orang dari 1 kasus temuan. Dicky menilai pelacakan kontak erat pada temuan varian Omicron semestinya dilakukan lebih banyak hingga 20 orang dalam 1 kasus positif mengingat penularan varian ini yang amat pesat.

"Tapi memang yang harus dilakukan adalah melakukan pengetatan supaya mobilitas dibatasi dan penularan Covid-19 di masyarakat bisa ditekan, sehingga tidak terjadi lonjakan itu di rumah sakit," sambung dia.

Sependapat dengannya, Epidemiolog dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko meminta pemerintah untuk mengetatkan kebijakan PPKM demi mencegah lonjakan pasien di rumah sakit.

"Apa yang saya khawatirkan adalah ketika terjadi lonjakan di rumah sakit, dan mengulang kejadian buruk pada puncak kedua lalu saat kematian meningkat, RS overload, maka dari itu saya pikir diperlukan pengetatan kebijakan PPKM di DKI," ujar dia.

Namun, Miko tetap meminta penyediaan tenaga kesehatan di RS, yang disebutnya kerap luput disiapkan, secara memadai. 

Miko mengaku pemerintah mungkin sudah mempersiapkan keperluan medis seperti oksigen, obat-obatan, hingga menambah tempat tidur di rumah sakit untuk mengantisipasi puncak ketiga Covid-19 di Indonesia.

"Meski prediksinya dalam puncak ketiga ini tidak akan separah puncak kedua, tetapi SDM nakes perlu dipersiapkan agar tidak kolaps, agar tidak terjadi kematian pada nakes atau dokter yang menjadi big loss kita," ujar dia.

Dia menyarankan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai membuka perekrutan untuk nakes. "Seharusnya saat ini pemerintah sudah membuka pendaftaran untuk nakes sebagai antisipasi puncak di akhir Februari itu," kata Miko.

Di samping itu, ia menyarankan agar pemerintah tak bergantung pada fasilitas layanan medis jarak jauh atau telemedicine bagi pasien Covid-19 yang bergejala ringan.

Pasalnya, tak semua orang bisa mengakses internet dengan memiliki ponsel pintar, serta ada kesulitan untuk membatasi gerak seseorang yang melakukan isolasi mandiri.

"Sebelum terjadi lonjakan kasus, pemerintah juga harus mengkaji ulang apakah telemedicine masih bisa membantu pasien OTG yang isolasi mandiri di rumah? Jangan sampai karena takut membebani rumah sakit kemudian disuruh isolasi mandiri semua tapi tidak terawasi," tuturnya.

Bersambung ke halaman selanjutnya...

Kebijakan-kebijakan Kontradiktif Perlu Dikaji Ulang

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER