Jakarta, CNN Indonesia --
Dirintis sejak 1972 silam, baru sekitar setengah abad kemudian perjanjian ekstradisi Republik Indonesia dan Singapura terlaksana.
Peresmian kerja sama perjanjian ekstradisi itu disaksikan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1).
Indonesia dan Singapura sebenarnya telah merintis perjanjian ekstradisi sejak 1972. Namun, pembahasannya baru dimulai intens sejak 2004 silam hingga akhirnya disepakati dua negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perjanjian ini dianggap membuka jalan pemerintah Indonesia memulangkan buronan kriminal hingga koruptor yang kabur ke Singapura, begitu pun sebaliknya. Sebab, ekstradisi bisa dijadikan dasar bagi suatu negara meminta pemulangan seorang tersangka yang berada atau tengah ditahan di negara lain.
Singapura diketahui kerap menjadi tempat bersembunyi para koruptor. Mulai dari tersangka korupsi BLBI Bank Modern Samadikun Hartono; Sujiono Timan tersangka korupsi BPUI hingga Harun Masiku, tersangka kasus suap penetapan anggota DPR terpilih 2019-20.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf menilai perjanjian ekstradisi dengan Singapura bisa menjadi dasar hukum yang kuat untuk memulangkan para koruptor dan aset-asetnya ke Indonesia.
Namun, Ia menyatakan efektif atau tidaknya pelaksanaan ekstradisi itu tergantung pada implementasi di lapangan oleh aparat penegak hukum Indonesia.
"Jangan lagi cuma perjanjian di atas kertas doang. Tapi harus ada implementasi. Bagaimana komitmen penegak hukum harus sama. Pemberantasan korupsi harus dituntaskan sampai ke akarnya. Ini komitmen bersama. Jangan cuma formalitas, pilih kasih dan ada nuansa politik. Karena Ini pendekatan hukum murni," kata Asep kepada CNNIndonesia.com, Rabu (26/1).
Asep menilai perjanjian ekstradisi antara Singapura dan Indonesia sudah ditunggu lama. Terlebih lagi ada sinyalemen banyak kejahatan korupsi dari tanah air yang hasilnya tersimpan di Singapura.
Ia mengatakan selama ini aparat penegak hukum Indonesia kesulitan menindak pelaku korupsi karena tak ada perjanjian ekstradisi dengan Singapura.
"Itu mesti eksplisit di sebutkan di salah satu butirnya. Semisal kejahatan narkoba, terorisme dan korupsi. Karena mereka berlindung dengan tidak adanya perjanjian [ekstradisi]. Hemat saya perlu eksplisit [tindak korupsi] disebutkan di perjanjian itu," kata Asep.
Di satu sisi, Asep tak menampik dugaan bahwa Singapura berkepentingan terhadap para pelaku koruptor Indonesia. Oleh karena itu, para penegak hukum Indonesia harus melakukan komunikasi, koordinasi simultan dengan pemerintah Singapura untuk menangkap dan mengembalikan aset-aset koruptor yang tersimpan di negara tersebut.
"Harus banyak komunikasi, koordinasi dan sinergi. Itu bisa membuka jalan penegakan hukum efektif. KPK atau kepolisian itu harus banyak komunikasi dengan pihak Singapura," kata dia.
Terpisah, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai kesepakatan RI dan Singapura menjadi proses yang baik bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Karena ini jadi instrumen penting dalam mengembalikan ke Indonesia dan menangkap pelaku tindak pidana korupsi dan uang hasil kejahatan mereka," kata Zaenur.
Zaenur menilai pemberantasan korupsi di Indonesia kerap terhambat karena banyak tersangka yang lari ke Singapura. Aparat Indonesia kesulitan memulangkan tersangka untuk menjalani proses hukum di Tanah Air bila tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara tempat pelarian.
"Saya berharap dengan perjanjian ekstradisi ini tak ada lagi cerita para koruptor yang lari ke Singapura susah dipulangkan. Semua harus bisa dipulangkan bersama harta kejahatan mereka," kata dia.
Baca halaman selanjutnya, manfaat teken perjanjian ekstradisi bagi Jokowi.
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Jati mengatakan upaya Jokowi menjalin perjanjian ekstradisi dengan Singapura untuk mengembalikan citranya sebagai presiden yang semula dikritik terkait pemberantasan korupsi.
"Tujuan utamanya mengembalikan citra presiden. Karena kita lihat sekarang citra presiden agak mundur dengan berbagai macam kebijakan domestik yang ditentang banyak orang, salah satunya korupsi," kata Wasis.
Dengan perjanjian ini, Wasis mengatakan citra Jokowi sebagai presiden yang pro terhadap pemberantasan korupsi tak pudar. Sebab, perjanjian itu bisa membuka peluang kembalikan aset para tersangka korupsi di luar negeri.
"Artinya membangun kembali citra Jokowi yang pro terhadap korupsi," kata dia.
Tak hanya itu, Wasis juga mengatakan perjanjian itu ada kaitannya dengan janji politik Jokowi pada pemilihan presiden lalu untuk mengembalikan aset negara di luar negeri. Karenanya, Iangkah itu diperlukan pula agar tak dipandang sebagai presiden yang ingkar janji.
"Saya pikir itu ada kaitannya dengan janji politik Jokowi soal pengembalian aset negara di luar negeri. Saya pikir dengan ditandatanganinya perjanjian ekstradisi langkah karena banyak aset negara yang belum dikembalikan," ucapnya.
KSP: Wibawa Jokowi Menguat
Kantor Staf Presiden (KSP) tak memungkiri perjanjian ekstradisi itu mempengaruhi wibawa kepemimpinan Jokowi.
Tenaga Ahli Utama KSP Siti Ruhaini Dzuhayatin berkata Singapura dikenal sebagai negara yang memiliki pemerintahan baik dan bersih. Menurutnya, kerja sama dengan Singapura akan menaikkan posisi Indonesia di mata negara lain.
"Penandatanganan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura wujud menguatnya kewibawaan kepemimpinan Presiden Joko Widodo sekaligus menjadi bukti bahwa reputasi pemerintah dalam tata kelola yang transparan dan akuntabel semakin membaik," kata Siti dalam keterangan tertulis, Rabu (26/1).
Sementara itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik penandatanganan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura yang telah rampung dilakukan beberapa waktu lalu.
Listyo mengatakan bahwa perjanjian tersebut bakal mengoptimalkan proses penegakan hukum serta pemberantasan kejahatan lintas negara atau transnasional.
"Dalam proses penegakan hukum, hal itu akan semakin mengoptimalkan pencegahan serta pengungkapan kasus kejahatan transnasional kedepannya," kata Listyo kepada wartawan, Rabu (26/1).
Mantan Kabareskrim ini menjelaskan bahwa pelaku kejahatan terus mengembangkan modus operandinya seiring perkembangan zaman. Teknologi, kata dia, juga kerap dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan.
Sehingga, menurut Listyo pemanfaatan teknologi untuk melakukan kejahatan membuat pelaku dapat bergerak tanpa melihat batas negara. Jenderal bintang empat itu menyebut diperlukan kerja sama antar negara dalam pemberantasan kejahatan.
Listyo meyakini, perjanjian ekstradisi itu akan meningkatkan upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, hingga terorisme.
"Semangat perjanjian ekstradisi tersebut sejalan dengan komitmen Polri dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum di Indonesia. Serta mencegah adanya gangguan stabilitas keamanan," jelasnya.
Di lain sisi, Ia pun menyinggung rencana pembentukan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas) Polri yang merupakan bentuk penanganan korupsi secara komprehensif. Nantinya, Kortas akan memperkuat kerja sama hubungan internasional hingga pelacakan aset (tracing recovery asset).
"Dengan adanya upaya pencegahan tindak pidana korupsi hal itu menghindari terjadinya kerugian negara. Selain itu, untuk pemulihan kerugian negara yang diakibatkan dari praktik korupsi, maka akan dilakukan tracing dan recovery asset," tambah dia.
2.601 Kejahatan Transnasional
Ia pun merincikan, sepanjang tahun 2021 Polri telah menyelesaikan 2.601 kasus kejahatan transnasional atau setara dengan 52 persen dalam penyelesaian perkara. Angka itu belum termasuk dengan tindak pidana narkoba.
Jumlah kejahatan transnasional yang dilaporkan pada tahun 2021 sebesar 5.000 kasus. Angka itu menurun 698 kasus atau 12,2 persen dibandingkan tahun 2020. Kemudian, penyelesaian perkara sebesar 2.601 kasus.
Jumlah tersebut diklaim meningkat 630 kasus atau 31,9 persen. Adapun, kejahatan transnasional yang paling banyak terungkap adalah terkait siber, pencucian uang, perbankan dan uang palsu.