Aimee Dawis dalam Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas menulis bahwa akibat dari sejumlah pelarangan di era Soeharto, kebanyakan orang Tionghoa yang lahir sesudah 1966, hanya dapat berbicara, menulis dan membaca bahasa Indonesia.
Namun, ada pengecualian untuk orang Tionghoa yang mampu membayar guru untuk mengajarkan bahasa Mandarin kepada anak-anak mereka atau mengirim anak-anak mereka ke negara tetangga.
"Di samping itu, di beberapa daerah Indonesia seperti Singkawang yang 40 persen penduduknya terdiri atas orang Tionghoa. Anak-anak diajar untuk berbicara dalam dialek hakka di rumah, tapi tidak banyak di antara mereka yang mampu membaca dan menulis dalam bahasa mandarin karena kurang mendapat pendidik yang memadai," tulis Aimee.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Candra mengatakan salah satu penyebab generasi muda Tionghoa tidak bisa berbahasa Mandarin adalah karena ketakutan akibat peristiwa 1965 yang terus diwariskan dari generasi terdahulu.
INTI, kata dia, kini tengah gencar kampanye perdamaian memutus ketakutan itu.
"Ini kan peristiwa terjadi di masa lalu. Dialami oleh orang tua kita, kakek nenek, ayah dan ibu. Cuma kita minta, setop lah, kalau memang tidak mau diskriminasi, ya jangan mendiskriminasi lagi. Lingkaran setan harus diputus. Jadi jangan mewariskan kebencian," katanya.
"Efek tahun 1965, banyak yang hilang, diculik tidak kembali. Peristiwa 65 terus diwariskan hingga saat ini, sehingga banyak anak muda Tionghoa tidak bisa berbahasa Mandarin lagi karena ketakutan tadi," imbuhnya.
Leo berpendapat, kebijakan asimilasi Soeharto membawa hasil yang bermacam-macam. Di satu sisi, kebijakan itu membuat etnis Tionghoa, secara kebudayaan menjadi kurang Tionghoa lantaran kehilangan penguasaan atas bahasa dan menjadi lebih berakar dalam kebudayaan Indonesia.
Tapi di sisi lain, sebagian besar dari mereka tetap mempertahankan identitas terpisah, karena rezim Soeharto menawarkan kesempatan untuk melestarikan identitas etnis Tionghoa di bawah ideologi negara Pancasila.
Ideologi yang menjamin kebebasan beragama ini memberikan kesempatan kepada etnis Tionghoa di Indonesia untuk bersembunyi di balik identitas agama minoritas seperti agama Budha, Tridharma dan Konfusianisme.
"Agama-agama ini merupakan agama-agama Tionghoa dan memiliki pengikut Tionghoa dalam jumlah yang sangat besar. Identitas etnik Tionghoa dipertahankan melalui agama-agama. Selain itu, rezim menerapkan kebijakan-kebijakan yang menyebabkan keterpisahan etnis/ras secara terus-menerus dengan penerapan dikotomi pri dan nonpri," tulis Leo.
Semua aturan diskriminatif di Orde Baru pun perlahan dicabut oleh Presiden-presiden setelah Soeharto.
Lihat Juga : |
Salah satunya oleh Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pada 10 Januari 2000, ia mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000.
Dengan pencabutan itu, etnis Tionghoa bebas melakukan kegiatan apa pun, termasuk merayakan Imlek.
Kemudian setelahnya berturut-turut Imlek dijadikan hari libur fakultatif (hanya bagi mereka yang merayakan) hingga menjadi libur nasional.
"Pada zaman Gus Dur dibalik. Semua aturan yang membatasi ekspresi kebudayaan Tionghoa baik itu bahasa, maupun juga organisasi, budaya-budaya yang bersifat selebrasi dicabut. Lalu oleh Megawati imlek dijadikan libur nasional," kata Johanes.
Pun bagi Candra maupun Onggo yang menilai kondisi saat ini sudah jauh berbeda dengan zaman Orde Baru. Runtuhnya rezim yang berkuasa selama 32 tahun merupakan titik balik bagi etnis Tionghoa.
"Kalau secara umum kondisinya sudah baik sekali. Jauh dari masa Orde baru," kata Candra.
(yoa/wis)