Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarif menilai jika memang serius, bisa saja memaksimalkan data yang terangkum dalam aplikasi PeduliLindungi. Menurutnya, data dalam PeduliLindungi bisa saja digunakan sebagai acuan apakah orang itu terinfeksi kembali atau tidak.
Pasalnya, setiap hasil tes PCR akan terhubung langsung dengan aplikasi tersebut.
"Mestinya di PeduliLindungi data-data mengenai itu ada. Tapi kan kita tahu ya, gini lho, ada dua hal. Pertama, soal reinfeksi, kalau kita tahu, apa artinya? Kalau sekadar tahu seseorang terkena reinfeksi, itu sebetulnya enggak begitu banyak artinya," jelas Syahrizal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kecuali seperti data-data di luar negeri, yang kita tahu variannya. Kan kita data di PeduliLindungi enggak mungkin ada variannya," imbuhnya menambahkan.
Hingga saat ini, para ahli belum mengetahui secara pasti mengenai perkembangan antibodi dan infeksi ulang Covid-19. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) menyatakan saat ini masih melakukan penelitian mengenai seberapa sering infeksi ulang terjadi, siapa orang yang berisiko lebih tinggi terinfeksi ulang, seberapa cepat infeksi ulang terjadi setelah infeksi sebelumnya, tingkat keparahan reinfeksi, dan risiko penularan ke orang lain.
Salah satu data yang tersedia mengenai reinfeksi Covid-19 berasal dari Washington State Department of Health (DOH). Berdasarkan data dari 1 September hingga 26 Desember, terdapat total 4.404 kasus reinfeksi ulang dari 264.520 kasus.
Sebanyak 223 orang atau 5,1 persen yang mengalami reinfeksi tersebut menjalani perawatan di rumah sakit. Sebanyak 0,1 persen atau 9 orang yang mengalami reinfeksi meninggal dunia. Lebih dari setengah atau 2.640 orang (59.9 persen) orang yang mengalami reinfeksi tidak divaksin Covid-19.
Beberapa waktu lalu, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan mereka yang telah sembuh dari Covid-19 atau para penyintas, bisa kembali terkena varian Omicron
"Ada penelitian yang menyebut dua atau tiga atau lima kali lebih sering. Ada juga penelitian lain menunjukkan risiko relatif terinfeksi ulang 6,36 kali pada yang belum divaksin dan 5,02 kali pada yang sudah divaksin," kata Tjandra, seperti dikutip Antara.
Menurut penjelasan Tjandra, reinfeksi bisa dialami oleh orang yang sudah dosis lengkap bahkan booster vaksin Covid-19 karena efikasi vaksin tidak 100 persen.
"Jadi masih mungkin akan ada yang sakit yang disebut breakthrough infection yang derajatnya dinilai dalam bentuk breakthrough infection rate (B-Infection rate)," ungkap dia.
Mereka yang sudah divaksin lengkap tetap memiliki kemungkinan terinfeksi Omicron, hanya diharapkan tanpa gejala atau keluhannya ringan.
Lebih lanjut, Tjandra mengatakan, pemberian vaksin secara lengkap ditambah booster akan mampu mengurangi angka pasien dirawat di rumah sakit dan jauh mengurangi kemungkinan penyakit menjadi memberat.
"Pemberian vaksin secara lengkap ,apalagi kalau dengan booster akan secara bermakna mengurangi angka masuk rumah sakit dan jauh mengurangi kemungkinan penyakitnya jadi memberat," ujarnya.