Adakah di kalangan sekitar Anda yang merupakan penyintas Covid-19, dan belakangan terinfeksi kembali?
Perlu dicatat bahwa sejumlah penyintas Covid-19 melaporkan mengalami reinfeksi atau terinfeksi kembali di tengah lonjakan penularan, terutama karena varian Omicron. Namun, apakah itu reinfeksi dan kenapa bisa terjadi?
Reinfeksi Covid-19 adalah kondisi yang terjadi saat seseorang pernah positif Covid-19, lalu sembuh, dan terinfeksi kembali setelah beberapa waktu. Seseorang yang mengalami infeksi ulang bisa sudah divaksin lengkap, vaksin sebagian, atau tidak divaksinasi sama sekali. Fenomena reinfeksi Covid-19 ini menimbulkan pertanyaan lanjutan mengapa bisa terjadi. Pasalnya, seseorang yang sudah pernah terinfeksi Covid-19 disebut sudah memiliki antibodi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejatinya bagaimanakah kasus reinfeksi Covid di Indonesia sejauh ini?
Saat bertanya ke Kementerian Kesehatan pada pekan lalu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Siti Nadia Tarmizi menyatakan sejauh ini di Indonesia belum ada data terpusat mengenai jumlah para penyintas Covid-19 yang terinfeksi kembali.
"Ndak ada (data kasus reinfeksi), kecuali di faskes. Kan tidak semua data ditarik sampai ke pusat," ujar Siti yang juga Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 itu kepada CNNIndonesia.com, Jumat (4/2).
Menurut Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Syahrizal Syarif, mengatakan, Kemenkes bisa saja membuat data pasien yang terinfeksi kembali oleh Covid-19. Data itu, kata dia, bisa untuk menganalisa karakter virus.
"Kemenkes kan punya Litbangkes, saya kira tidak ada salahnya mereka melakukan, menganalisa sebagian data, tidak harus keseluruhan," ujar Syahrizal saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin malam (7/2).
Kendati demikian, menurutnya sejauh ini data reinfeksi pasien Covid-19 di Indonesia bisa dibilang sebagai sebuah prioritas. Di satu sisi, ia sangsi Indonesia bisa mendata kasus reinfeksi Covid-19.
Syahrizal menilai berkaca situasi dan kondisi, Indonesia akan sulit mengelola data reinfeksi. Pasalnya, Indonesia merupakan negara berkembang dan dari sisi geografis cukup luas jika dibandingkan negara-negara maju lainnya.
"Kita bukan negara besar yang bisa melakukan analisa seperti itu, apalagi kita juga penduduk besar sekali. Beda dengan Israel, Denmark, atau Inggris yang punya data itu. Mereka negara kecil dan punya resources yang besar, sistem datanya juga lebih baik," jelas dia.
Syahrizal mengatakan, data mengenai penyintas Covid yang terinfeksi kembali saat ini sebagian besar digunakan untuk menganalisa karakter virus corona. Oleh karena itu, menurutnya, jika ingin, Indonesia bisa menggunakan data dari luar negeri untuk ikut menganalisa.
Kolega Syahrizal di FKM UI, Tri Yunis Miko, mengatakan, data mengenai reinfeksi semestinya memang ada di surveilans atau pengawasan. Data-data itu, kata dia, juga bisa digunakan untuk menganalisa lebih lanjut karakter virus corona.
"Dari data surveilans itu kan hanya periksa lab, positif, lalu dikumpulkan. Mungkin kalau reinfeksinya dicatat, mungkin bisa dianalisis," ujar Miko.
Miko menjelaskan, data reinfeksi biasanya digunakan untuk menganalisa karakter varian dari virus corona maupun gejala bagi yang menderitanya. Sejauh ini, data-data dan analisa tersebut sudah dilakukan di luar negeri.
"Menurut saya yang perlu dianalisis berapa yang reinfeksi, berapa yang baru terinfeksi. Yang lebih penting sebenarnya adalah new infeksi," paparnya.
Diketahui, kasus positf Covid-19 pada pekan ini meningkat drastis, dengan mencapai puluhan ribu lebih kasus. Pada Minggu (6/2) saja misalnya, kasus positif mencapai 36.057 sementara pada Senin (7/2) mencapai 26.121. Dengan puluhan ribu kasus itu, tercatat ada 82 orang meninggal dunia.
Pekan lalu, Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman berpandangan idealnya pemerintah mengantongi data r-infeksi. Hal itu diperlukan agar suatu negara lebih siap menghadapi kondisi serupa di masa yang akan datang.
Dicky mengaku tak kaget bahwa Kemenkes tak mempunyai data tersebut. Sebab, permasalahan data terkait kasus yang terinfeksi saja belum tuntas.
"Idealnya iya, tapi tentu sulit untuk Indonesia. jangankan yang re-infeksi, yang kasus infeksi aja masih terbatas," ucap dia, Jumat lalu.
"Ada beberapa manfaat tentu. Setidaknya jadi tahu karakter virus dan pola pandemi ke depan. UK dan beberapa negara maju sudah mulai mendata," imbuhnya.
Baca halaman selanjutnya soal memaksimalkan PeduliLindungi