Aturan mengenai batas usia pensiun prajurit TNI yang diatur dalam Pasal 53 dan Pasal 71 huruf a Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Seorang pensiunan perwira Korps Wanita TNI Angkatan Darat (Kowad) bernama Euis Kurniasih dan tiga Pemohon perseorangan lainnya tercatat menjadi Pemohon Perkara dengan nomor 62/PUU-XIX/2021 itu.
Pasal 53 menyebut anggota TNI golongan bintara dan tamtama pensiun paling lambat pada usia 53 tahun. Sementara itu, anggota TNI golongan perwira pensiun paling lama pada usia 58 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan pasal 71 menjelaskan saat berlakunya UU TNI, ketentuan tentang usia pensiun prajurit TNI hanya berlaku bagi prajurit yang pada tanggal undang-undang ini diundangkan belum dinyatakan pensiun dari dinas TNI.
Dalam permohonannya, para pemohon meminta MK mengubah ketentuan tersebut. Mereka ingin usia pensiun anggota TNI sama dengan usia pensiun anggota Polri.
Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) menyebut batas usia pensiun anggota Polri untuk semua kepangkatan adalah 58 tahun. Perpanjangan masa bakti diberikan kepada anggota Polri yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian.
Keahlian tersebut meliputi: identifikasi, laboratorium forensik, komunikasi elektronika, sandi, penjinak bahan peledak, kedokteran kehakiman, pawang hewan, penyidikan kejahatan tertentu, atau navigasi laut/penerbangan.
"Anggota Polri yang mempunyai keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas Polri, dapat dipertahankan sampai dengan usia 60 tahun, sedangkan Prajurit TNI bagi Bintara dan Tamtama harus pensiun pada usia 53 tahun dan Perwira harus pensiun pada usia 58 tahun dan tidak dapat dipertahankan atau diperpanjang," kata kuasa hukum pemohon Kurniawan dilansir situs MK.
Menurut para Pemohon, jika perpanjangan usia pensiun yang diterapkan anggota Polri berbasis pada keahlian khusus dan kebutuhan, maka Prajurit TNI baik Perwira, Bintara dan Tamtama, sesungguhnya telah memenuhi unsur keahlian khusus dan kebutuhan.
Pemohon mencontohkan soal adanya pasukan khusus dalam institusi TNI seperti Komando Operasi Khusus TNI (Koopssus TNI). Mereka juga berpendapat para perwira yang telah menduduki jabatan juga dimaknai memiliki keahlian khusus di bidang tertentu.
"Telah jelas norma pasal 53 dan pasal 71 huruf a UU TNI telah menimbulkan perbedaan perlakuan antara prajurit TNI dengan anggota Polri yang mempunyai kesamaan sebagai alat negara yang menjalankan usaha pertahanan dan keamanan negara," ucap Kurniawan.
"Sehingga secara esensi bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan pada saat yang sama bertentangan pula dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," imbuhnya.
Peneliti Imparsial, Husein Ahmad mengatakan meski Mabes TNI sudah memiliki kebijakan menambah Masa Dalam Pangkat dan menambah jumlah jabatan-jabatan baru, nyatanya tidak mengatasi problem perwira nonjob yang ada di tubuh TNI selama ini.
Jika gugatan masa pensiun dikabulkan oleh MK, menurutnya, itu akan menambah kacau problem nonjob tersebut.
"Makin banyak orang yang nanti tidak memiliki jabatan di level perwira. Kalau ke mabes TNI lantai 5, itu ada meja-meja Pati TNI yang tanpa jabatan. Itu kan tidak baik bagi organisasi," kata Husein saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (10/2).
Ia menyatakan penumpukan perwira nonjob yang terlalu banyak dapat menimbulkan friksi dan konflik di internal. Husein menyinggung peristiwa Madiun pada 1948. Saat itu, menurutnya reorganisasi dan rasionalisasi dalam tubuh tentara memicu terjadinya friksi.
Husein mewanti-wanti jangan sampai hal tersebut terulang.
"Saat itu karena ada tiba-tiba perwira KNIL dan PETA, baru lulusan yang Belanda tiba-tiba dimasukkan, ada reorganisasi, penurunan pangkat, kenaikan pangkat, banyak orang tidak punya jabatan di tubuh TNI, yang terjadi akhirnya konflik di internal mereka," kata Husein .
"Kalau terlalu banyak jenderal nonjob, kita bisa bayangkan mereka merasa dihargai dan seterusnya, jadi potensi itu harusnya dibaca. Kita harus melihat bagaimana terjadi penumpukan perwira terlalu banyak, itu akan menimbulkan friksi, konflik di dalam tubuh TNI," ucapnya menambahkan.
Husein juga mengatakan dengan penambahan usia pensiun, maka pengelolaan karir prajurit akan terhambat akibat terjadi pelambatan laju pensiun.
Ia mencontohkan soal jabatan Andika Perkasa sebagai Panglima TNI yang harusnya selesai pada tahun ini, bisa dimungkinkan diperpanjang hingga 2024. Hal itu, akan membuat regenerasi terhambat.
"Yang harusnya ada pergantian panglima dari angkatan Pak Andika ke angkatan di bawahnya, itu akan terhenti. Bagaimana angkatan di bawahnya? Tentu mereka akan stop juga. Coba dibayangkan kalau orang ini berhenti di posisi tertentu, itu akan terus sampai bawah," ucapnya.
"Tentu akan menambah anggaran karena yang harusnya pensiun jadi enggak. Juga mempengaruhi profesional di tubuhTNI," tambahnya.
Pengamat Politik Jamiludin Ritonga berpandangan serupa. Penumpukan perwira tinggi akibat masa pensiun yang ditambah, menurutnya akan memicu gesekan internal.
Menurutnya, pengisian jabatan-jabatan strategis di tubuh TNI tidak hanya berdasarkan aspek profesionalitas, namun juga politis.
"Karena bagaimanapun akan berlomba-lomba untuk tetap duduk di struktural. Tentu gesekan itu untuk dapat posisi strategis... setiap jabatan strategis yang terkait dengan nuansa politis, sistem karier tidak sepenuhnya dijalankan. Di situ lah yang dikhawatirkan munculnya gesekan dan kecemburuan," katanya.
![]() |