Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengingatkan Polda Sulawesi Tengah (Sulteng) agar menempuh langkah ilmiah dan melakukan uji balistik terkait tewasnya demonstran yang menolak tambang di Parigi Moutong.
Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Sulawesi Tengah, Dedi Askary mengatakan langkah saintifik penting. Tujuannya, agar terdapat hasil pengujian ilmiah perjalanan peluru di ruang udara.
"Harus ada langkah saintifik yang ditempuh kepolisian, sehingga ada hasil pengujian ilmiah terkait perjalanan peluru," kata Dedi dalam keterangan resminya, Senin (14/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Dedi juga mengingatkan bahwa uji balistik juga sangat penting guna membandingkan anak peluru yang di TKP dan senjata yang dicurigai.
Menurutnya, hal ini akan menentukan sosok pelaku penembakan berikut jarak dan jumlah tembakan yang dilepaskan.
"Akan menentukan siapa pelaku penembakan," ujar Dedi.
Dedi mengingatkan agar Kapolda Sulteng memerintahkan anggotanya untuk mengambil sisa pembakaran di TKP. Benda-benda tersebut antara lain gas dan residu yang dikenal sebagai Forensik Gunshot Residue (GSR) dalam dunia balistik.
Menurut Dedi, partikel GSR bisa dijumpai di permukaan tangan dan pelaku maupun di sekitar sumber tembakan.
"GSR ini hanya bisa bertahan lebih-kurang 6 jam saja," tuturnya.
Sebagai informasi, seorang demonstran yang menolak aktivitas tambang emas PT Trio Kencana di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Erfaldi tewas diterjang peluru tajam.
Berdasarkan informasi yang Komnas HAM terima dari pihak keluarga, peluru itu masuk dari punggung belakang sebelah kiri dan menembus dada.
Pernyataan keluarga didukung hasil visum Puskesmas Katulistiwa yang mengangkat peluru dari jenazah Erfaldi.
Sebelumnya, Aliansi Rakyat Tani (Arti) Koalisi Gerak Tambang menggelar demonstrasi besar. Mereka menuntut Pemerintah Sulteng menutup tambang emas milik PT Trio Kencana yang memiliki lahan konsesi di Kecamatan Kasimbar, Toribulu, dan Tinombo Selatan.
(iam/isn)