LIPUTAN KHUSUS

Cerita Warga 3 Dekade Tak Injak Tanah di Kampung 'Apung' Teko Kapuk

CNN Indonesia
Kamis, 10 Mar 2022 10:43 WIB
Kampung Apung di kawasan Kapuk, Cengkareg, Jakarta Barat. CNN Indonesia/ Adi Maulana)
Jakarta, CNN Indonesia --

Maksum (62), dirundung trauma melihat genangan air yang mengepung rumahnya di Kampung Teko alias Kapuk Teko alias Kampung Apung, Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, selama lebih dari 30 tahun.

Sepuluh tahun lalu, si bungsu meninggal usai jatuh dari rumah dan tenggelam di genangan air.

"Kalau masih ada, sekarang umurnya sudah 14 tahun. Mungkin dia sudah SMP kelas satu atau kelas dua," katanya lirih saat ditemui di Kampung Teko, Senin (25/1).

Akibat kejadian itu, ia sempat kembali ke kota asalnya, Magelang, Jawa Tengah. Namun itu tak lama. Pekerja serabutan ini memutuskan untuk kembali ibu kota, menyambung hidup di Kampung Teko.

Pada akhirnya Maksum memilih untuk legawa dan menjalani sisa hidupnya di rumah apung tersebut. Walaupun Maksum sadar, tidak mudah untuk bertahan hidup di kampung yang seolah berada di atas air itu.

Ketua RT setempat, Rudi Suwandi (51), mengakui kebanyakan warga memutuskan untuk tetap bertahan di Kampung Teko lantaran tak punya pilihan lain. Mayoritas warga kampung tergolong miskin sehingga sulit untuk bermimpi pindah ke luar kampung.

Di sisi lain, mustahil untuk menjual sepetak lahan di Kampung Teko dengan harga normal. Alhasil warga kebanyakan bertahan meskipun harus merenovasi rumah secara berkala agar tetap dapat "mengapung" di Kampung Teko.

"Ya mending gitu lah, ini rumah saya hasil renovasi. Udah enggak jadi rumah panggung lagi, bawahnya udah ditimbun pake lumpur galian SDA (Dinas Sumber Daya Air) sampe dasar. Rumah adik saya juga lagi diproses timbun gitu," tuturnya.

"Abis nungguin pemerintah mah lama, mending sendiri aja. Kalau udah beres, saya niatnya mau nimbun galian atau lumpur di belakang biar jadi tempat main anak-anak. Mimpi aja dulu," sindirnya.



Mulanya Asri

Kampung Teko adalah wilayah seluas sekitar 3 hektare yang persis berada di pinggir Jalan Kapuk Raya, RT 01/RW 02 Kelurahan Kapuk. Lokasinya yang lebih rendah dibanding daerah sekitarnya membuat air betah berlama-lama bersama warga hingga berpuluh tahun.

Sebuah jembatan beton sepanjang 20 meter merupakan jalan utama yang menghubungkan antara Kampung Apung dengan 'daratan'. Ukuran jalannya sempit, hanya cukup dilintasi dua orang dewasa secara berbarengan.

Mayoritas bangunan dibuat dengan model rumah panggung. Jika melongok ke bawah rumah warga, genangan air sedalam 2 meter yang dipenuhi alga hijau menyambut.

Sepintas, memasuki wilayah Kampung Teko terasa familiar dengan permukiman warga yang berada di deretan sungai di Kalimantan.


Ketika itu, banjir menjadi kosakata yang asing di telinga warga lantaran secara geografis kampung ini memang lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Warga pun masih memiliki lapangan tempat bermain sepak bola atau badminton.

Jiih (57), tokoh masyarakat setempat, menyebut warga bukannya dengan sengaja membangun permukiman di atas air. Pada 1970-an, kawasan ini tak ubahnya permukiman lain yang terkenal asri laiknya "kawasan Pondok Indah".

Di sekeliling kampung, sawah dan saluran irigasi atau drainase alami mengalirkan air menuju Kali Angke. Terdapat pula area pemakaman warga di salah satu sudut Kampung Teko.

"Singkatnya, dulu kami semua tinggal di sini masih menapak di tanah kayak warga yang lain. Mereka yang di luar justru saat itu mengungsi ke Kampung Teko," jelasnya, saat ditemui CNNIndonesia.com di kampung tersebut, Selasa (25/1).

Keasrian itu perlahan sirna ketika kompleks pergudangan pertama kali dibangun di sekitar Kampung Teko sekitar 1986 dengan dalih 'kemajuan' dan 'perkembangan industri'.

Jiih ingat betul bahwa untuk menopang 'pembangunan' kawasan industri tersebut, pemerintah juga terus melakukan peninggian muka Jalan Kapuk Raya.

Kondisi itulah yang kemudian membalikkan keadaan Kampung Teko dari yang tadinya lebih tinggi ketimbang daerah lainnya menjadi daerah cekungan yang justru menampung air dari wilayah sekitar.

Masyarakat sempat mencoba mengikuti ritme pembangunan tersebut dengan ikut meninggikan wilayah permukiman. Hanya saja, usaha itu tidak sebanding dengan pembangunan yang dilakukan oleh industri.

"Namanya juga ngelawan orang yang punya duit susah. Kita di sini baru ninggiin 10 Sentimeter, sementara dia (industri) sudah sampai 1 meter. Kanan-kiri tinggi duluan, akhirnya airnya jadi ke sini," kisahnya.


Sejak itu, Kampung Apung mulai digenangi air mulanya setinggi 30 Sentimeter dan surut dalam tempo tiga sampai empat pekan.

Pembangunan itu juga membuat daerah resapan air untuk irigasi sawah milik warga dan saluran air yang menuju Kali Angke menjadi tertimbun. Durasi penyerapan dan penyaluran air yang tergenang di pemukiman warga menjadi kian lambat.

Lama-kelamaan, debit air semakin bertambah dan proses pengeringan air kian panjang. Sampai akhirnya, genangan tersebut menetap di kawasan itu hingga kini. Warga Kampung Teko pun belajar bertahan hidup tanpa menapakkan kaki di permukaan tanah.

"Pada saat itu, warga mulai menguruk tanah di sekitarnya dan rumah-rumah mulai ditopang kayu menyerupai panggung. Mulai lah berubah dari Kapuk Teko jadi Kampung Apung," ujarnya.

Bersambung ke halaman berikutnya...

 

Pengeringan Diklaim Terhambat Tanah Wakaf


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :