Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga menjadi salah satu tenaga ahli Penulis Naskah Akademik Hari Penegakan Kedaulatan Negara Julianto Ibrahim menyebut Sri Sultan Hamengku Buwono IX masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan ketika peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 berlangsung.
"Saya kira beliau masih jadi Menteri Pertahanan," kata Julianto dalam acara diskusi daring bertajuk 'Memahami Kepres Nomor 2 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara', Senin (7/3).
Julianto menerangkan memang sejarah mencatat bahwa sejumlah petinggi Indonesia termasuk Sukarno, Hatta, dan beberapa menteri diasingkan ke Menumbing pasca-Agresi Militer Belanda II tahun 1948.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia yang saat itu memasuki masa status darurat terpaksa membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di Sumatera. Sjafroeddin Prawiranegara didapuk jadi ketuanya.
Meskipun status darurat, kata Julianto, autoritas Kabinet Hatta masih hidup. Otomatis, sambungnya, Sri Sultan Hamengku Buwono merupakan menteri pertahanan aktif saat itu.
"Walaupun memang ada pemerintahan darurat PDRI tapi tetap Kabinet Hatta masih berfungsi. Contohnya Sudirman, dia panglima di Kabinet Hatta, tapi PDRI dia kan tetap panglima juga," paparnya.
Bukti lain yang menguatkan posisi Sri Sultan HB IX sebagai menteri pertahanan adalah Perjanjian Roem-Royen pada 7 Mei 1949. Salah satu isi Perjanjian Roem-Royen untuk Belanda yakni, Belanda menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta.
"Untuk ini kan harus ada proses dalam mengembalikan kedaulatan, nah pada 14 juni 1949 Sjafroeddin mengirim surat. Memberi mandat kepada Sultan sebagai menteri pertahanan. Jadi, Sjafroeddin sendiri mengakui Sultan sebagai menteri pertahanan untuk mengondisikan Kota Yogyakarta," papar Julianto.
Kontribusi Sultan HB IX dibutuhkan untuk mencegah agar TNI dan kawanan Belanda tak bentrok saat pemulangannya yang menjadi bagian dari pemenuhan hasil perundingan Roem Royen ini.
"Maka Sultan berperan penting sebagai Menteri Pertahanan. Itu terjadi pada 29 Juni 1949 yang kemudian itu dikenal sebagai Jogja Kembali. Maknanya apa, kembalinya Yogyakarta sebagai ibukota republik dan milik republik," ujar Julianto.
Sejarawan UGM lainnya, Sri Margana dalam diskusi itu menerangkan Sri Sultan HB IX memiliki fungsi politik dan militer cukup kuat hingga mempunyai kekuasaan untuk berkolaborasi dengan Jenderal Sudirman beserta unsur politik lainnya.
"Kemudian beliau juga seorang yang memiliki tituler Letjen yang diakui juga oleh Pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda tidak berani melawan eksistensi Sultan HB IX sebagai raja (Keraton Yogyakarta) maupun Letjen," ungkapnya.
Sultan HB IX pula raja pertama yang menyatakan bergabung dengan RI pascaproklamasi kemerdekaan. Dia juga yang menawarkan Kota Yogyakarta sebagai ibukota negara demi mempertahankan penegakan kedaulatan.
"Sultan adalah satu dari sedikit menteri yang tidak ikut ditahan oleh Belanda, sehingga beliau bisa memiliki sedikit banyak (ruang) untuk bergerak, untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak seperti menghubungkan dengan Jenderal Sudirman dan para tokoh yang diasingkan di Bangka itu. Beliau bahkan mengunjungi Soekarno dan Hatta di Menumbing," paparnya.
Margana menerangkan HB IX pula yang memanggil Soeharto yang kala itu berpangkat letnan kolonel untuk membicarakan Serangan Umum 1 Maret.
"Sultan HB IX yang memegang mandat keamanan ketika Serangan Umum 1 Maret selesai, perundingan mulai berangsur kembali. Maka ibu kota dikembalikan ke Yogyakarta dari Bukit Tinggi, dari Sjafroeddin itu kemudian beliau memberikan mandat ke Sultan untuk memulihkan keamanan sebelum ibukota kembali ke Yogyakarta," katanya.
Sebelumnya, Anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon dalam cuitannya 6 Maret 2022 lalu menyebut Kabinet Hatta berakhir seiring dengan penangkapan Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Agus Salim sebelum peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
Dia menyebut unggahan Humas Pemda DIY yang menulis Sri Sultan HB IX sebagai Menteri Pertahanan sekaligus Raja Yogyakarta ketika Serangan Umum 1 Maret 1949, ialah keliru.
"Menteri Pertahanan ketika itu dirangkap Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) sbg Kepala Pemerintahan, Sjafroeddin Prawiranegara. Kabinet Hatta sdh berakhir dg penangkapan Soekarno-Hatta-Sjahrir-H Agus Salim. Dibentuklah Kabinet PDRI," cuit Fadli.
(kum/kid)