Warga suku Irarutu di kampung Kufuriyai dan Manggera, Distrik Arguni Bawah, Kaimana, Papua Barat kembali menggelar tradisi Sasi Pala pada Rabu (16/3) lalu, setelah lebih dari 20 tahun tidak dilakukan.
Sasi adalah istilah lokal yang berarti 'larangan'. Dengan kata lain, Sasi Pala merupakan tradisi kolektif masyarakat untuk tidak melakukan panen buah Pala dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya, agar Pala yang dipanen benar-benar matang dan berkualitas baik.
Tradisi Sasi dimulai dengan tarian Sirosa dan nyanyian khas Irarutu. Para lelaki memainkan tifa, sementara para perempuan menari menggerakkan kaki-kakinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, dilanjutkan dengan ritual adat yang dipimpin oleh ketua suku dan adat setiap kampung. Di depan buah Pala, Kepala suku semacam merapalkan doa. Setelah itu, dua bambu ditancapkan menyilang di salah satu pohon Pala.
Penancapan kedua bambu itu menandakan Sasi dimulai. Artinya, warga tak boleh memanen Pala sampai sasi dibuka.
Kepala Suku Kufuriyai Yosef Surune menjelaskan, Sasi dilakukan agar kualitas pala yang dipanen lebih bagus. Sehingga, harga Pala bisa dihargai lebih dan secara otomatis pemasukan warga pun ikut naik.
"20 tahunan lah [sudah tidak Sasi], baru ini lagi. Hasil pendapatan ini menurun sehingga kita kembali ke adat. Harus sasi supaya mereka punya buah buahan ini saat panen mereka menjaga mutu," kaya Yosef kepada CNNIndonesia.com di Distrik Arguni, Rabu (16/3).
Jika harga Pala menurun, maka pendapatan warga untuk memenuhi kebutuhan sehari hari pun berkurang. Pasalnya, 99 persen sumber penghidupan warga Distrik Arguni Bawah berasal dari penjualan Pala.
Harga jual Pala di Distrik Arguni saat ini berkisar Rp40 ribu per kilogram. Padahal, sebelumnya, harga Pala pernah mencapai angka Rp180 per kg.
Yosef mengatakan, pangkal permasalahannya berada pada kualitas Pala. Menurutnya, banyak warga yang menjual Pala muda. Padahal, Pala yang dihargai mahal adalah Pala yang sudah benar-benar matang.
"Akhirnya kita buat sasi sehingga ketika saat kita panen bersama dan bagus, menjaga kualitasnya," ujar dia.
Yosef menuturkan, Pala tidak boleh dipanen sebelum Sasi dibuka. Jika ada warga yang melanggar Sasi Pala, maka akan mendapatkan sanksi dan musibah.
"Bisa sakit, kaki dipotong atau dilukai sehingga menjadi musibah," katanya.
"Seandainya sasi sudah dibuka ketua adat, masyarakat bebas mengambil pala. Sasinya tergantung dari kami, misal ditentukan waktu satu atau dua bulan atau satu tahun itu berarti sudah kita buka sasi bisa panen," imbuhnya.
Kepala Kampung Kufuriyai Beatris Tefruam, Suku Irarutu meyakini sasi punya dampak positif terhadap ketersediaan sumber daya alam agar tetap lestari, termasuk dalam hal pemanfaatan pala. Sebab, masih banyak warga yang terpaksa memanen Pala muda saat membutuhkan uang.
"Jika hukum Sasi tidak ada, maka akan mengakibatkan terjadinya pemanfaatan besar-besaran yang dapat merusak lingkungan," ujarnya.
Direktur Komunikasi dan Mobilisasi Pemuda Yayasan EcoNusa Nina Nuraisyiah menilai Sasi memang diperlukan untuk meningkatkan perekonomian warga. Sekaligus, menjaga keberadaan sumber daya Pala.
Pihaknya melakukan asesmen potensi Pala sejak 2019 di Distrik Arguni. Menurut Nina, memang masih banyak warga yang memanen Pala tidak pada waktunya. Oleh sebab itu, pihaknya turut menginisiasi Sasi Pala agar kelangsungan Pala terjaga dan pendapatan warga pun meningkat.
"Jadi enggak tunggu sampai tua sekali mereka panen. Nah itu hasilnya kurang baik secara ekonomi. Jadi kita memastikan sekarang yang kita approach melakukan pendekatan ke masyarakat adalah memastikan kualitas mutunya bagus," ucap Nina.
"Mudah-mudahan hasilnya baik saat sasi dibuka, sehingga kualitas pala bertambah baik," imbuhnya.