Tradisi ziarah makam menyambut bulan Ramadan masih lekat dengan tradisi masyarakat di seluruh daerah Indonesia.
Doa dan lafaz Alquran menjadi jembatan penghubung antara yang ditinggalkan dan yang meninggalkan.
Siang itu, Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta Pusat, ramai dikunjungi para peziarah. Di ujung Bulan Sya'ban menjelang Ramadan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lokasi makam yang dikelilingi oleh sejumlah gedung pencakar langit, blok makam yang tertata rapi, serta ramainya peziarah membuat suasana jauh dari kesan seram atau mistis.
Para penjual bunga sudah berjejer, menunggu di sisi-sisi untuk dihampiri. Begitu pula penjaja makanan dan minuman yang memanfaatkan momen ini untuk meraup rezeki.
Momen padatnya peziarah dimanfaatkan juga oleh penyedia jasa penuntun doa. Tentunya profesi satu ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat perkotaan, khususnya di Jakarta. Penjaja jasa penuntun doa saat berziarah menjadi profesi makin diminati saat ini. Maklum semua karena tingginya permintaan.
Salah satunya, Khairudin Ibrahim, pria 69 tahun asli suku Betawi menggeluti profesinya sebagai pendoa di pusara. Ia memberikan jasa atau bantuan bagi para peziarah yang ingin mendoakan sanak keluarganya yang telah meninggal dunia.
Ia mengatakan pekerjaannya sebagai pendoa di TPU Karet Bivak dilakukan setiap hari. Terhitung Sudah 21 tahun Khairudin menjalani profesi ini. Ia pun didapuk sebagai koordinator wilayah TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat.
![]() Abdurrahman (76th) Pembaca doa ziarah dan penguburan, di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Menteng Pulo, Jakarta, Jumat, 3 April 2015. CNN Indonesia/Adhi Wicaksono. |
Bermula saat ia mengalami kehancuran pada bisnis yang dijalaninya, pada tahun 2001, Khairudin kemudian diajak oleh sahabatnya untuk bergabung menjadi pendoa di pusara. Awalnya ia sempat menolak lantaran berfikir menjajakan sesuatu yang tak umum menurutnya. Namun karena himpitan ekonomi profesi inipun akhirnya ia jalani.
"Saya waktu itu tidak tertarik, karena gimana gitu. Lambat laun karena ekonomi dan rumah tangga terpaksa ya saya terjun," kata Khairudin saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Jumat (18/3).
Tidak ada tarif khusus yang dipasang untuk jasa yang ia tawarkan. Khairudin menerima berapapun uang yang diberikan oleh peziarah yang memintanya untuk membaca doa dengan ikhlas.
"Karena apa ini ayat Alquran kalau saya menarifkan berarti saya menjual ayat-ayat Alquran," tuturnya.
"Kadang-kadang ada yang suka ngasih Rp200 ribu ada yang kasih Rp 100 ribu, ya bagaimana rezeki saja," tambah Khairudin
Terlihat orang berbondong-bondong berziarah ke makam orang tua, keluarga juga kerabat. Peziarah silih berganti memasuki area Makam Karet Bivak. Mereka tampak mengenakan masker dan menerapkan protokol kesehatan.
"Kebanyakan pada umumnya di sini sering kita bacakan (orang) berziarah ke makam orang tuanya," kata Khairudin.
Dalam sehari Khairudin bisa mendapati 10 peziarah yang memintanya membacakan doa di pusara keluarganya. Beda lagi ketika munggahan tiba, 60 peziarah bisa ia dapati dalam momen ini.
Munggahan adalah tradisi menyambut bulan Ramadan. Kata Munggahan berasal dari "Munggah" yang berarti naik. Salah satu maknanya, ketika memasuki bulan Ramadan, masyarakat naik ke bulan yang luhur derajatnya.
Dikatakan Khairudin, biasanya orang-orang yang ingin menggunakan jasanya terlebih dulu menghubunginya lewat telepon. ️️Khairudin, cukup banyak dikenali para peziarah. Bacaannya yang fasih serta tutur katanya yang lembut semakin mudah untuknya mengumpulkan banyak rekan.
Ia tidak ingin menyebut para peziarah sebagai langganan, sebab ia sedang tidak berjualan ayat-ayat Alquran.
Profesi penjaja doa di pusara pun mendapat dua pandangan berbeda. Ada yang memang senang dan merasa terbantu dengan adanya profesi ini, ada juga yang memandang sebelah mata.
Ridwan (28), salah satu peziarah mengatakan profesi penjaja doa seperti Khairudin sangat membantunya saat berziarah ke makam ayahanda tercinta. Dengan keterbatasan kemampuannya membaca Alquran, penuntun doa sangat dibutuhkannya.
"Saya tidak lancar mengaji. Saya juga tidak tahu harus membaca apa saja kalau ziarah. Jadi dengan dituntun doa, saya ikuti membaca dan mengamini," kata anak bungsu yang telah lima tahun ditinggal sang ayah.
Lihat Juga :![]() INSPIRASI ATLET Jalan Mahmoud Abdul-Rauf Mendapatkan Islam |
Pandangan berbeda diungkapkan Awaludin. Pria 35 tahun yang sudah menjadi yatim-piatu sejak usia 15 tahun ini memandang profesi tersebut hal yang tak wajar. Menurutnya, mendoakan orang tercinta terlebih orang tua yang telah tiada lebih afdal dari diri sendiri tanpa bantuan orang lain.
"Allah itu maha tahu. Kita baca yang kita bisa saja. Ayat-ayat pendek. Berdoa dengan bahasa Indonesia, itu cukup. Doa anak yang dikabulkan sama Allah. Yang sampai ke orang tua kita," ucap pria yang akrab disapa Awal.
Awal lebih memilih mengeluarkan uang untuk jasa membersihkan makam atau penjaja bunga yang akan ditabur di makam kedua orang tuanya.
"Saya mending kasih ke tukang yang bersih-bersih makam. Beli bunga buat tabur. Saya doa semampu saya. Saya percaya justru doa dari saya yang ditunggu oleh orang tua saya," tuturnya.
(lna/isn)