Bandung, CNN Indonesia --
Masjid Besar Cipaganti di Kota Bandung merupakan salah satu masjid tertua dengan sejarahnya yang panjang. Perpaduan keindahan arsitektur Eropa dan Jawa menjadi ciri khas masjid yang berlokasi di Jalan Raden AA Wiranatakusumah (Jalan Cipaganti) No 85 ini.
Kekhasan dari bangunan Masjid Besar Cipaganti adalah lokasinya yang berada pada tusuk sate. Bagi orang Eropa, posisi bangunan tusuk sate adalah favorit, namun tidak menurut kepercayaan Tionghoa. Untuk mengamati lokasi bangunan ala Eropa ini, bisa bila dilihat dari Jalan Sastra, sebuah jalan yang menghubungkan Jalan Cihampelas dan Jalan Cipaganti.
Selain itu, bangunan masjid yang berwarna lembut dan dikelilingi pilar-pilar dari bata juga merupakan ciri khas arsitektur Eropa. Unsur Eropa lainnya juga terlihat dari konstruksi bangunan yang memakai kuda-kuda segitiga penyangga atap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dapat dilihat juga dari foto klasik, nuansa Eropa pada Masjid Besar Cipaganti terlihat dari halaman depan masjid. Di mana masjid ini terletak pada posisi yang strategis dan agak terpisah dari bangunan lainnya serta dikelilingi taman yang luas.
Bahkan sebelum mengalami renovasi, Masjid Besar Cipaganti memiliki kemiripan dari segi arsitektur dengan Gereja Bethel, yaitu dari pintu utama yang menjorok dan disangga dengan dua pilar di kanan dan kirinya.
Masjid Besar Cipaganti juga terasa kuat dalam balutan Jawa bernuansa Islami. Itu terlihat dari atap sirap berbentuk tajuk tumpang dua serta empat saka guru di dalam masjid yang berhiaskan ornamen bunga bersulur dan ukiran kaligrafi ber-lafaz Hamdallah.
 Foto: cnnindonesia/huyogosimbolon Masjid Besar Cipaganti Bandung. CNN Indonesia/Huyogo Simbolon |
Ketika memasuki masjid dari pintu utama, akan terlihat dinding hijau dengan ukiran dan tulisan kaligrafi. Di depan pintu masuk utama juga terlihat lampu gantung besar yang menyambut.
Tak hanya itu, pada masing-masing bagian terdapat penitipan sepatu yang disediakan. Tempat wudhu berada tidak jauh dari tempat penitipan sepatu.
Masjid Besar Cipaganti memang terdiri dari satu lantai dengan ruang utama di bagian tengah. Bagian utara dan selatan dari ruang tengah ini adalah ruang tambahan yang dibangun pada 1965. Sehingga, pintu masuk masjidnya pun sekarang dari sisi selatan dan utara.
Ruang utama di bagian tengah adalah ruang aslinya. Di ruang tengah inilah terdapat tiang utama berjumlah empat. Serta saka guru berbentuk segi empat dan memiliki ukiran di bagian atas dan bawah tiang.
Merujuk data Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya Kemendikbud, Masjid Besar Cipaganti telah didaftarkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung pada 14 Agustus 2018.
Sekitar tiga bulan kemudian atau tepatnya pada 1 November 2018, masjid yang diarsiteki C.P.W. Schoemaker itu lolos verifikasi sebagai bangunan cagar budaya di Kota Bandung.
Sebuah plakat bangunan cagar budaya yang berada di samping kanan pintu masuk masjid menandakan bahwa bangunan masjid tersebut termasuk dilindungi Pemerintah Kota Bandung.
Masjid Cipaganti
Dibangun 1933
Arsitek C.P.W. Schoemaker
Nama awal adalah Masjid Kaum Cipaganti
Sedangkan pada bagian kanan masjid, ada dua buah prasasti yang dibuat pada 1933. Salah satu prasasti berisi tulisan ejaan lama yang menginformasikan masjid dibangun 7 Februari 1933 dan diresmikan pada 27 Januari 1934 oleh Bupati Bandung Raden TG Hassan Soemadipraja didampingi Patih Bandung Raden RG Wirijadinata dan Penghulu Bandung, (kini disebut Kementerian Agama) Raden Hadji Abdoel Kadir.
Sementara, satu buah prasasti lainnya berisi tentang informasi pendirian masjid menggunakan bahasa Sunda.
 Foto: cnnindonesia/huyogosimbolon Masjid Besar Cipaganti Bandung. CNN Indonesia/Huyogo Simbolon |
Masjid Besar Cipaganti merupakan masjid yang pertama kali di bangun di daerah Bandung Utara yang zaman baheula dihuni masyarakat eksklusif barat (Een Westerns Enclave) dan segelintir elit pribumi. Gagasan pendirian masjid ini datang dari para inohong Bandung yang merasa tak ada masjid representatif di wilayah tersebut.
Namun, perlu untuk diketahui masjid di kawasan itu sebetulnya sudah berdiri sekitar 100 tahun sebelumnya atau sekitar tahun 1830-an. Bangunan masjid yang sebelumnya dibangun di lingkungan warga kampung pada waktu itu masih bermaterial bilik dan bergenting tanah liat.
Dekade kedua abad ke-20, muncul program pembenahan kota di Bandung. Rumah-rumah warga pribumi di sekitar Masjid Cipaganti dibeli oleh pemerintah Hindia-Belanda, termasuk Masjid Cipaganti lama. Jalan Nijlandweg dibangun membelah kawasan perumahan yang tengah dipersiapkan di sana. Di tempat yang sama, kemudian dibangun rumah-rumah permanen yang lebih besar yang kebanyakan dihuni oleh orang-orang Belanda. Sementara itu, penduduk pribuminya menyingkir setelah mendapatkan ganti rugi.
Dalam buku Toponimi Kota Bandung (Bandung Art & Culture Council, 2008) karya T Bachtiar, Etti RS dan Tedi Permadi diungkap nilai historis nama Cipaganti. Berdasarkan unsur kata pembentuknya, Cipaganti berasal dari kata "Ci" atau "Cai" (air) yang merupakan aspek "hidrologis" dan "Pangganti" yang berasal dari kata ganti yaitu suatu kawasan yang dicanangkan untuk menggantikan kawasan lain untuk jadi ibu kota atau pusat pemerintahan.
Butuh setidaknya enam tahun, dari 1926-1932, hingga masjid bisa dibangun lagi. Banyak kaum muslim yang menolak perobohan masjid dan berdiskusi mencari solusi kepada khalifah atau pemegang otoritas keagamaan setempat.
"Sesudah dirubuhkan sekitar 1926, masyarakat merasa gerah kemudian mencair solusi. Mereka berdiskusi dengan khalifah dan penghulu, maka ketua penghulu saat itu Hj Abdul Kadir dibantu Hj Abdul Muin dan Hj Abdul Kurdi dan satu orang lagi mencari kedudukan masjid. Dan ternyata terbukti bahwa tanah ini adalah tanah wakaf," kata Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Besar Cipaganti Mochamad Zaenal Muttaqin saat ditemui CNNIndonesia.com pada Kamis (17/3).
Permintaan Abdul Kadir dan kawan-kawan tersebut dibahas dalam serangkaian rapat Dewan Kota Bandung. Sebulan kemudian perizinan tersebut diberikan, dengan syarat masjid harus dibangun kembali mengikuti persyaratan dalam peraturan bangunan gedung yang diawasi oleh pemerintah setempat.
"Setelah disampaikan kepada pemerintah Hindia-Belanda bahwa tanah ini adalah tanah wakaf dengan luas dulu tercatat 8.000 meter persegi. Mereka merespons dan menghormati keputusan itu karena tanah wakaf tidak bisa diganggu gugat, tidak bisa dipakai untuk hal lain kecuali peruntukannya (masjid). Kemudian, pemerintah Hindia-Belanda mengisyaratkan boleh dibangun lagi tapi dengan catatan bangunan yang representatif kokoh dan permanen," tutur Zaenal.
Ide pendirian Masjid Cipaganti datang dari para inohong Bandung yang merasa tak ada masjid representatif di wilayah tersebut. Akhirnya, diputuskan akan didirikan masjid di Jalan Cipaganti (kini Jalan Raden AA Wiranatakusumah). Pembangunan dimulai setelah turun bantuan berupa biaya dari Raden AA Hasan Soemadipradja, serta sumbangan dari golongan bumiputera.
Awal mulanya, Masjid Besar Cipaganti bernama Masjid Kaum Cipaganti. Penamaan kaum dikarenakan pelaksanaan akad nikah saat itu belum lazim dilakukan di rumah akan tetapi di masjid. Orang Bandung menyebutnya kaum.
Ada dua kaum yang dipakai menikahkan yaitu di Alun-alun (Kaum Bandung) dan kaum Cipaganti. Masjid atau kaum itu juga disebut bale nyungcung. Bale adalah bangunan dan nyungcung dalam bahasa Sunda berarti kerucut seperti bentuk limas runcing ke atas. Menyebut bale nyungcung di Bandung tak diragukan lagi merujuk ke penyebutan masjid atau kaum pada waktu itu.
Penulis buku Penghargaan Konservasi Bangunan Cagar Budaya Dibyo Hartono menyebutkan, Masjid Cipaganti merupakan satu-satunya masjid di Kota Bandung yang dirancang oleh orang Eropa. Masjid ini merupakan karya arsitektur berkebangsaan Belanda CP Wolff Schoemaker.
Dia merupakan arsitek yang begitu banyak merancang bangunan art deco di Kota Bandung. Schoemaker juga menjadi guru bagi Soekarno kala menuntut ilmu rancang desain bangunan di Bandung.
Kisah Soekarno pernah salat di Masjid Cipaganti juga sudah menjadi buah bibir di masyarakat. Selain Soekarno, sejumlah tokoh besar juga pernah mampir dan beribadah di masjid seperti B.J. Habibie hingga Joko Widodo.
"Karena sejarahnya panjang, kami sebagai pemegang estafet kepengurusan masjid sampai sekarang tidak mau menghilangkan keaslian Masjid Besar Cipaganti," ujar Zaenal.
Sebagai rumah ibadah umat Islam, Zaenal mengatakan, Masjid Besar Cipaganti saat ini digunakan untuk salat dan aktivitas dakwah lainnya. Bahkan mereka yang beribadah tak hanya berasal dari warga sekitar lingkungan masjid, melainkan dari berbagai daerah.
 Foto: cnnindonesia/huyogosimbolon Masjid Besar Cipaganti Bandung. CNN Indonesia/Huyogo Simbolon |
Dia menambahkan, Masjid Raya Bandung sudah siap menyambut jamaah yang akan menunaikan ibadah selama bulan Ramadan 2022. Sejumlah kegiatan keagamaan seperti pengajian majelis taklim hingga salat tarawih akan dilaksanakan di masjid ini.
"Masjid Besar Cipaganti berkapasitas 800 orang. Tapi kita pastikan semua menaati protokol kesehatan. Tahun ini, Majelis Ulama Indonesia dan Kementerian Agama memberikan kelonggaran dengan memperbolehkan salat tarawih," ujarnya.
Pada Ramadan kali ini, Masjid Besar Cipaganti juga akan menggelar kegiatan ceramah yang diisi oleh para ustaz muda sebagai bentuk kaderisasi masjid.
"Ustaz lokal ini bagian dari kaderisasi ustaz di sekitar Kecamatan Sukajadi. Kalau khutbah Jumat, tetap dari berbagai unsur, perguruan tinggi, masjid besar atau ulama yang kompeten," tuturnya.