ANALISIS

Mempertanyakan Dalih Hapus Aborsi dan Pemerkosaan dari RUU TPKS

CNN Indonesia
Selasa, 05 Apr 2022 14:37 WIB
Komisioner Komnas Perempuan dan Peneliti ICJR mengkritisi pemerintah dan DPR yang menghapus pemerkosaan dan aborsi dari draf RUU TPKS dengan alasan ada di KUHP.
Massa perempuan mendesak DPR mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang belakangan diubah jadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Desakan (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia --

Tim Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKSDPR menyetujui usulan pemerintah untuk menghapus aturan soal pidana pemerkosaan dan aborsi dari draf rancangan perubahan beleid tersebut.

Dalam rapat dengan pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Sharif Omar Hiariej itu, usulan untuk menghapus pasal pemerkosaan dan aborsi dari RUU TPKS karena dua poin tersebut telah diatur dalam UU Kesehatan dan menyusul akan diatur pula lewat RKUHP.

Menurut Eddy, sapaan akrab Edward, penghapusan tindak pidana pemerkosaan dan aborsi dari RUU TPKS dilakukan untuk menghindari tumpang-tindih antara peraturan perundang-undangan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Korban pemerkosaan tetap diperbolehkan untuk aborsi di dalam UU Kesehatan. Terkait tindakan aborsi, nanti sepenuhnya merujuk pada UU Kesehatan saja," ucap Ketua Tim Panja RUU TPKS mengutip pernyataan Eddy, Minggu (3/4).

Namun, keputusan DPR dan pemerintah tersebut menuai kritik. Komisioner Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) Alimatul Qibtiyah menilai rencana DPR yang akan mengatur pasal pemerkosaan dan aborsi lewat RKUHP menggantung.

Alima membantah pengaturan dua poin tersebut dalam RUU TPKS akan tumpang tindih, sebab hal itu bisa diatur kemudian.

Sementara, menurut dia, selama RKUHP belum disepakati, keputusan untuk menggantungkan pengaturan perkosaan dan pemaksaan aborsi justru akan terus merugikan korban terutama perempuan.

Pemerintah lewat Wamenkumham sebelumnya menargetkan RKUHP akan disahkan pada Juni mendatang. RUU yang sempat menuai penolakan massal dari masyarakat sipil pada 2019 itu kini pada tahap pengesahan tingkat satu di pleno DPR, sebelum resmi menjadi undang-undang lewat mekanisme rapat paripurna.

Menurut Alima, DPR dan pemerintah mestinya mempertimbangkan ulang memasukkan pemerkosaan dan pemaksaan aborsi dalam RUU TPKS sebagai penguatan payung hukum. Sebab, karena hanya lewat RUU TPKS korban bisa mendapat jaminan pemulihan dan perlindungan.

"Dengan tujuan menguatkan payung hukum, maka mempertimbangkan ulang pengaturan tentang perkosaan dan pemaksaan aborsi perlu menjadi salah satu langkah utama," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Selasa (5/4).

Sejumlah aktifis bergabung saat aksi damai memperingati Hari Perempuan Internasional di kawasan Monas, Jakarta, Selasa, 8 Maret 2022. Mereka menyuarakan anti kekerasan seksual yang masih mengancam, kesejahteraan dan perlindungan kaum perempuan di Indonesia. (CNN Indonesia/Safir Makki)Sejumlah aktivis bergabung saat aksi damai memperingati Hari Perempuan Internasional di kawasan Monas, Jakarta, Selasa, 8 Maret 2022. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Alima menerangkan kasus kekerasan seksual termasuk tertinggi yang diterima Komnas Perempuan selama 2021, mencapai hampir 30 persen. Pihaknya menduga jumlah itu lebih tinggi, karena mayoritas dari kekerasan seksual merupakan kasus pemerkosaan.

Sedangkan, bentuk kekerasan lain seperti pelecehan tak banyak dilaporkan masyarakat. Ia menduga, masyarakat terutama perempuan, belum sepenuhnya terbuka dan berani pelecehan seksual yang mereka terima.

Sayangnya, kata Alima, dari jumlah laporan kekerasan seksual yang dicatat Komnas Perempuan, hanya sekitar 5 persen yang selesai hingga proses hukum.

"Nah, dari 30 persen itu yang betul-betul tuntas itu kecil sekali. Kurang dari 5 persen kalau yang saya lihat itu. Jadi, kadang juga agak susah juga," katanya.

Menurut Alima, hal itu terjadi karena KUHP belum mengatur dengan jelas soal pasal pemerkosaan.

Dia mengatakan, KUHP saat ini mendefinisikan pemerkosaan hanya proses masuknya kelamin laki-laki ke perempuan. Definisi itu menurut membuat korban kesulitan membuktikan kekerasan seksual yang mereka alami.

"Jadi kalau perkosaan itu menggunakan alat yang lain, tidak dengan alat reproduksi kadang tidak dianggap sebagai perkosaan. Apalagi harus dibuktikan dengan sperma dan sebagainya," katanya.

"Padahal orang kalau sudah diperkosa inginnya segera bersih. Gitu kan. Sehingga kadang jadi susah untuk membuktikannya itu," tambah Alima.

Hukuman Lebih Ringan

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER