ANALISIS

Mempertanyakan Dalih Hapus Aborsi dan Pemerkosaan dari RUU TPKS

CNN Indonesia
Selasa, 05 Apr 2022 14:37 WIB
Komisioner Komnas Perempuan dan Peneliti ICJR mengkritisi pemerintah dan DPR yang menghapus pemerkosaan dan aborsi dari draf RUU TPKS dengan alasan ada di KUHP.
Massa perempuan mendesak DPR mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang belakangan diubah jadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Desakan (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Sementara itu, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengkritik keputusan pemerintah dan DPR menghapus ketentuan pemerkosaan dan pemaksaan aborsi dari draf RUU TPKS.

Sebaliknya, kata Maidina, pihaknya justru mendorong agar pengaturan soal pemerkosaan cukup diatur lewat RUU TPKS, bukan RKUHP.

Tak hanya pasal pemerkosaan, ICJR juga mendorong pemaksaan aborsi diatur lewat RUU TPKS. Jika karena dalih tumpang tindih aturan, Maidina menyebut ada bentuk kekerasan seksual lain yang juga diatur dalam UU lain di luar RUU TPKS.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sehingga, kata dia, dalih tumpang tindih aturan untuk menghapus pemerkosaan dan pemaksaan aborsi dari RUU TPKS tak relevan.

"Hal yang sama juga tentang pemaksaan aborsi, iya memang diatur dalam KUHP juga, tapi di RUU TPKS yang kemarin disahkan, ada juga listing kekerasan seksual di UU lain kan," kata Maidina saat dihubungi, Selasa (5/4).

Pihaknya Khawatir selama RKUHP belum disahkan, maka jenis kekerasan seksual dalam bentuk pemaksaan aborsi hanya dikategorikan sebagai perbuatan cabul. Sebab, KUHP hanya mendefinisikan perbuatan cabul selama alat vital laki-laki tak dipenetrasikan ke vagina.

Konsekuensinya, hukuman terhadap pelaku akan lebih ringan. Selain itu, kata dia, korban juga tidak akan mendapat perlindungan hingga pemulihan sesuai hukum yang telah diatur dalam RUU TPKS.

"Implikasinya hukumannya akan lebih ringan. Kalau pemaksaan aborsi bukan sebagai kekerasan seksual dalam RUU TPKS, korban pemaksaan aborsi tidak akan mendapatkan hak dan hukum acara sesuai RUU TPKS," kata Maidina.

Ketidakjelasan Tingkat Perbuatan Dilarang dalam RUU TPKS

Dalam kajian bersamanya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) menilai ada ketidakjelasan mengenai tingkatan perbuatan yang dilarang dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

Kedua organisasi itu mengatakan beberapa unsur pidana yang diatur dalam RUU TPKS mirip. Menurut mereka, hal itu perlu ditinjau kembali dan dilakukan penyesuaian.

"Sebelumnya telah disepakati DIM 73 tentang pelecehan seksual fisik dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya, DIM 74 tentang pelecehan seksual fisik atas dasar penyalahgunaan relasi kuasa, DIM 82 tentang pemaksaan perkawinan, dan DIM 100 tentang perbudakan seksual," bunyi keterangan resmi ICJR, yang dikutip dari situs resmi ICJR, Senin (4/4).

"Jika dilihat dalam rumusan yang sudah disepakati dalam nomor-nomor DIM tersebut, terdapat ketidakjelasan mengenai tingkatan perbuatan yang dilarang, yang mana masing-masing perbuatan tersebut rumusan unsur pidananya mirip. Maka harus ditinjau ulang perumusannya," tulis keterangan tersebut.

Dua organisasi itu pun menyarankan beberapa tingkatan itu disusun mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi, dimana pada tingkat 1 ditempati oleh pelecehan seksual fisik (hanya 1 ayat dalam DIM 72), kemudian tingkat 2 yaitu eksploitasi seksual seperti pemanfaatan organ tubuh secara seksual berdasarkan relasi kuasa dengan adanya keuntungan materiil atau immateriil.

Lalu tingkat 3 yaitu perbudakan seksual dengan perbuatan pemanfaatan organ tubuh secara seksual berdasarkan relasi kuasa dengan adanya keuntungan materiil atau immaterial disertai dengan pembatasan ruang gerak secara fisik. Serta tindak pidana berbeda yaitu pemaksaan perkawinan.

Sementara DIM 74 tentang pelecehan seksual fisik atas dasar penyalahgunaan relasi kuasa, menurut mereka harus dihapus sebab muatan dalam pasal tersebut dinilai tumpang tindih dengan substansi pada pasal terkait Pemaksaan Perkawinan yang sudah mengatur secara khusus hubungan perkawinan.

"Kendatipun, dalam konteks hubungan di luar perkawinan, muatan pasal pelecehan seksual fisik atas dasar penyalahgunaan relasi kuasa (DIM 74) juga tumpang tindih dengan rumusan Pasal Perbudakan Seksual (DIM 100)," tulis ICJR.

Lembaga advokasi itu juga menekankan pada rumusan pasal Pemaksaan Perkawinan perlu memuat unsur yang jelas dan ketat soal ketiadaan persetujuan dalam perkawinan.

Seperti misalnya ketidakberdayaan korban, ketidakcakapan korban untuk memahami dampak dari terikat dalam suatu perkawinan, serta perkawinan yang tidak diketahui oleh korban atau perkawinan yang dilakukan berdasarkan tipu daya, penjeratan hutang, maupun ancaman kekerasan terhadap diri atau keluarga.

Lebih lanjut, ICJR dan PUSKAPA juga menyinggung soal aturan barang bukti yang ditetapkan dalam DIM No. 171. Menurut mereka, aturan tersebut berpotensi disalahgunakan dan melanggar prinsip KUHAP. Sebab, dengan aturan itu, orang dapat dengan mudah dipidana hanya menggunakan bukti yang minim.

"Ketentuan ini membahayakan prinsip peradilan yang adil. Agaknya tidak perlu memasukkan rumusan DIM No. 171. cukup pengaturan 1 saksi diperbolehkan jika disertai dengan alat bukti lain, namun alat bukti lain dijamin menyertakan alat bukti visum psikiatrikum atau surat keterangan pemeriksaan psikologis korban," demikian tertulis dalam laporan kajian mereka.

Selain itu, ihwal hukum acara dan perlindungan korban, menurut keduanya perlu ditekankan kembali. Artinya, bila UU TPKS sudah berlaku, maka seluruh kasus-kasus kekerasan seksual yang ada saat ini diselesaikan dengan UU yang baru. Dan, itu yang diyakini sulit dilakukan apabila pasal tertentu dihapus dari RUU TPKS dengan asumsi sudah diatur dalam KUHP.

"Hal ini penting diakomodasi untuk menjamin kepentingan kemudahan korban, namun tidak untuk berlakunya delik/tindak pidana," tulis mereka.

(thr, blq/kid)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER