Masjid Wotgaleh dan Mitos Pesawat Jatuh Jika Terbang Melintasinya
Masjid Sulthoni Wotgaleh di Noyokerten, Sendangtirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta masih berdiri megah sebagai warisan budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sejak didirikan pada abad ke-17 silam oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Masjid yang berada persis di luar atau sisi selatan landasan pacu Bandara Adisoetjipto Yogyakarta ini bak tersembunyi oleh areal pohon tebu. Kecuali dari pintu masuk utama, keberadaan bangunan, baru akan tertangkap mata saat masa panen tebu.
Layaknya Masjid Kagungan Dalem atau kepunyaan Sultan lainnya, bangunan Masjid Sulthoni Wotgaleh memiliki gaya arsitektur yang mewarisi Masjid Demak. Atap limasan berbentuk tajug lambang teplok yang disangga empat pilar utama.
Menuju bangunan utama, terdapat ruang tengah, mihrab, pawestren untuk jamaah perempuan, dan serambi. Sepasang beringin tua kokoh di sisi timur bangunan. Di balik fasad dan atmosfernya yang tenang, Masjid Sulthoni Wotgaleh dikeramatkan sebagian warga.
Di sebelah selatan dan barat laut bangunan masjid, terdapat kompleks pemakaman Hastono Wotgaleh berisi makam Jaka Umbaran atau Panembahan Purubaya I, putera Panembahan Senopati, yang populer dengan julukan Banteng Mataram.
"Atau Puruboyo, atau Purboyo. Masalah ejaan saja sebetulnya," kata M as Bekel Sepuh M. Asrori (44), selaku salah satu juru kunci sekaligus takmir masjid, Selasa (22/3).
Asrori merupakan satu dari delapan abdi dalem Pasarean dan Kemasjidan Wotgaleh. Ia didapuk menjaga kompleks ini sejak 2003 silam.
Asrori menjelaskan, bahwa masjid ini dahulu berwujud langgar. Lalu, oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII dipugar menjadi Masjid Sulthoni Wotgaleh sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang terbaring di kompleks pasarean tersebut.
Masjid dan makam masih satu kompleks. Antara kedua area dipisahkan tembok setinggi dua meteran dan sebuah regol dengan pintu berwarna kuning cerah. Ada simbol Romawi 'HBVII' pada bagian segitiga gapura, akronim pendiri infrastruktur ini.
Selain makam Panembahan Purubaya I dan istri, juga dimakamkan Panembahan Purubaya II-IV. Serta Kanjeng Ratu Giring, ibunda Purubaya dan Guru Purabaya, Ki Wirosobo.
"Eyang Purboyo sangat berjasa sekali. Baik ketika melawan penjajah atau ketika Mataram berdiri itu kan banyak sekali permusuhan, itu Eyang Purboyo diutus menjadi panglima perangnya," urainya.
"Purboyo pertama itu menjabat panglima sampai empat raja. Dari Panembahan Senopati, Sultan Hanyokrowati, Sultan Agung dan Amangkurat," sambungnya.
Kata Asrori, Purubaya disegani bukan hanya selaku senopati. Tapi juga sebagai ulama yang berperan esensial menyebarkan ajaran agama Islam di era Kesultanan Mataram.
Wotgaleh sendiri berasal dari kata wot yang berarti jembatan atau meniti. Sementara galeh atau galih berarti hati. Sehingga Wotgaleh dapat diartikan jembatan menuju ketenteraman atau kemantapan hati mencapai kedamaian.
"Karena baktinya Eyang Purboyo sama ibunya, maka (makam) dipindah ke sini. Ketika itu, Eyang Purboyo dalam kondisi entah bimbang atau banyak pikiran karena saking dalamnya mikir maka dikatakan wot ing penggalih, dengan hati yang lebih dalam," paparnya.
Tersiar mitos bahwa benda apapun yang melintas di atas kompleks makam dan masjid ini akan jatuh menghantam tanah. Tak terkecuali burung, hingga pesawat terbang. Para pilot, kata Asrori, termasuk mereka yang mengeramatkan Kompleks Masjid Sulthoni Wotgaleh ini.
"Kalau dari pilot sendiri malah bilang begitu. Apa ya, termasuk zona merah atau jalur yang dihormati, nggak boleh diseberangi lah di atasnya itu," tuturnya.
Asrori berkata, mitos ini awet sedari periode kakeknya diamanahkan menjaga Masjid Sulthoni beserta Makam Hastono Wotgaleh. Beberapa kejadian, pesawat yang terjatuh di sekitaran area bandara memiliki rekam terbang melintasi kompleks masjid dan makam.
Masyarakat yang memiliki wawasan kejawen atau mereka yang setidaknya menggunakan ilmu otak-atik gathuk akhirnya mengaitkan eksistensi kompleks masjid-makam dengan rentetan peristiwa jatuhnya burung besi di seputaran bandara.
"Kalau yang sudah membuktikan itu ya kaya ada semacam magnet besar," ucap Asrori.
Kini, setiap giat penerbangan di sekitar kompleks masjid dan makam pasti didahului ziarah atau doa bersama dari Pihak Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Menurut Asrori, Danlanud Adisoetjipto kerap meminta izin kelancaran kegiatan.
"Yang sudah paham pasti ke sini dulu. Seperti kalau mau terjun malam. Tapi ya nggak terus akhirnya tetap melintas di atasnya (masjid dan makam). Ya kalau dari kami, kami persilakan kepada masyarakat untuk menilainya. Istilahnya, kami ambil hikmahnya saja. Semua tetap kehendak Allah," imbuhnya.